TIMES MALANG, TANGERANG – Perselisihan sekitar pemberantasan korupsi di Indonesia kembali menghangat belakangan ini. Mulai dari usulan ampunan bagi koruptor melalui denda damai hingga vonis yang terasa ringan bagi pelaku korupsi besar, banyak pihak mulai bersuara. Kesangsian akan arah penegakan hukum saat ini pun semakin bertambah di kalangan masyarakat.
Salah satu isu hangat yakni gagasan pengampunan koruptor lewat denda damai yang diusulkan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Ia berpendapat bahwa Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberi jalan untuk itu. Pasalnya, wacana ini langsung mendapat kritik tajam, termasuk dari Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, yang menyebutnya sebagai "salah beneran," bukan sekadar salah kaprah.
Mahfud MD menegaskan, "Mana ada korupsi diselesaikan secara damai. Itu korupsi baru namanya kolusi.", melansir cnnindonesia.com (26/12/2024). Ia berpendapat bahwa denda damai seharusnya hanya diterapkan pada tindak pidana ekonomi, seperti pajak atau bea cukai, bukan pada korupsi.
Mahfud menggambarkan bahwa meski negosiasi denda damai bisa dilakukan dalam kasus pajak, hal itu tak bisa diterapkan pada korupsi karena sifatnya yang merusak sendi-sendi negara.
Kasus Harvey Moeis
Kasus Harvey Moeis, pengusaha yang terlibat dalam korupsi tata niaga timah, kembali menyulut polemik dalam penegakan hukum. Vonis 6 tahun 6 bulan penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dianggap terlalu ringan dibandingkan tuntutan jaksa yang mencapai 12 tahun. Selain hukuman penjara, Harvey juga diwajibkan membayar denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp210 miliar.
Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, menganggap vonis ini jauh dari rasa keadilan masyarakat dan tak memberikan efek jera. Mahfud MD pun mengkritik putusan tersebut sebagai tidak logis, mengingat kerugian negara yang mencapai Rp300 triliun.
Meskipun hakim menilai peran Harvey dalam kerja sama antara PT Timah Tbk dan PT Refined Bangka Tin tidak penting, banyak pihak merasa hukuman ini tak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.
Penetapan Hasto Kristiyanto sebagai Tersangka
KPK sudah menetapkan Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, sebagai tersangka dalam kasus suap terkait pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR RI. Ia diduga berperan penting dalam penyuapan komisioner KPU, Wahyu Setiawan, untuk mendukung Harun Masiku menjadi anggota DPR. Selain itu, KPK menemukan bukti bahwa sebagian uang suap berasal langsung dari Hasto.
PDIP menanggapi kasus ini dengan komitmen untuk menghormati proses hukum. Walau, Hasto mengisyaratkan bahwa ada kemungkinan motif politik di balik penetapannya sebagai tersangka. Sikap ini mengundang spekulasi bahwa PDIP mungkin sedang mempertimbangkan untuk memposisikan diri sebagai oposisi.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menegaskan bahwa penetapan Hasto adalah respon penegakan hukum yang murni. Kendati, tuduhan politisasi dari PDIP menyundut perseteruan sengit. Beberapa pengamat, seperti Prof. Agus Raharjo, mengingatkan KPK untuk tetap fokus pada hukum tanpa terpengaruh oleh intervensi politik.
Dampak Politik dan Politisasi Hukum
Kasus Hasto tak hanya berefek pada citra PDIP sebagai partai penguasa, tetapi juga memicu silang pendapat tentang hubungan antara hukum dan politik di Indonesia. Juru Bicara PDIP, Chico Hakim, menyatakan bahwa kasus ini menyiratkan adanya politisasi hukum. Sementara itu, KPK berusaha meyakinkan publik bahwa keputusannya bersifat independen dan tak terpengaruh oleh tekanan politik.
Kontroversi ini menggambarkan blundernya penegakan hukum terhadap korupsi di Indonesia. Sekalipun tuduhan politisasi hukum terus beredar, banyak pihak berharap sejatinya proses hukum bisa berlangsung transparan dan adil, demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi. (*)
***
*) Oleh : Heru Wahyudi, Dosen di Program Studi Administrasi Negara FISIP Universitas Pamulang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |