https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Ambiguitas UU KUHP Sebagai Ancaman Bagi Perempuan?

Rabu, 21 Desember 2022 - 13:25
Ambiguitas UU KUHP Sebagai Ancaman Bagi Perempuan? Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

TIMES MALANG, MALANG – Dalam proses perdebatan yang sangat lama, pada akhirnya KUHP disahkan oleh DPR RI kemarin, pada 6 Desember 2022. Citra baru Undang-Undang yang akan  menjadi acuan hukum pidana di Indonesia di 2025 mendatang. KUHP ini terasa masih segar menyapa sistem hukum Indonesia telah melalui berbagai nuansa drama dengan pasal kontroversialnya.

Perlu diakui bahwa, KUHP menjadi sejarah baru bagi bangsa Indonesia dengan pembahasan paling lama dari sejak berdirinya Republik Indonesia. Ambisi reformasi KUHP telah menjadi cita-cita yang sangat akut dan lama diinginkan oleh bangsa Indonesia sebagai representasi kemandirian hukum di Indonesia yang sebelumnya selalu dihantui memakai hukum pidana dari warisan Belanda, yakni Wetboek Van Stafrecth Voor Nederlandsch.

Pada dasarnya, keinginan untuk mereformasi KUHP merupakan bagian langkah bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan fungsi reprsif yang tepat serta memberikan pendidikan terhadap pelaku pidana yang sesuai dengan karakter budaya bangsa Indonesia. Namun, alih-alih dalam melakukan amandemen dan merubah karakter KUHP warisan belanda ini, seiring dengan perjalanannya banyak diragukan. Mengingat, dalam pembahasan KUHP  masih tergelincir dan mengandung pasal-pasal yang kontroversial hingga memberikan sentimen yang berbau mengancam kehidupan demokrasi dan ruang privat warga negara.

Terlihat sangat ambigu atas pembentukan KUHP yang baru. Pasalnya, terdapat deretan pasal yang  belum tuntas, utama yang menyinggung ruang privat yang memungkinkan paradoks melihat fakta hukum yang ada di Indonesia. Terdapat dalam Pasal 2 KUHP tentang Living Law yang tidak ada batasan hukum, misalnya. Hal ini menjadi sebuah interpretasi hukum yang ambigu dan berpotensi membuka peluang persekusi dan main hakim sendiri.

Potensi keberadaan pasal tersebut tentu sangat memicu diskriminasi-diskriminasi baru. Khususnya muncul spekulasi-spekulasi diskriminasi terhadap seorang perempuan, mengingat kehadiran pasal tersebut masih saja bersinggungan dengan keberandaan peraturan daerah yang selama ini masih melekat dengan kultur patriarki dan subbodinasi perempuan di masyarakat yang lebih dalam. Hal ini sepantasnya harus diakui bahwa, masyakat Indonesia secara garis besar masih belum bisa menerima perempuan sebagai makhluk yang setara di masyarakat.

Pemerintah dalam ini “gagal” memberikan sumbangsih gagasan pasal yang dinilai kontroversial ini. Sebagaimana  Lembaga Komnas Perempuan membuka suara atas pasal yang terkesan partispatif mendiskriminasi ini. Sebuah pernyataan sikap yang kiranya pemerintah peka dan segera merevisi KUHP yang meneguhkan penghapusan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.

Dari itu, pemerintah sudah sepantasnya menyadari pasal-pasal yang mempunyai bias gender ini. Sebutlah dalam pasal 416 sampai dengan pasal 424 KUHP. Dalam pasal tersebut sekurang-kurangnya memberikan jeda pemahaman bahwa, delik pidana ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Delik ini masih terkesan ambigu. Misalnya dalam pasal 416 yang dikategorikan “kumpul kebo”, dalam hal lain yang perlu diperhatikan adalah kondisi psikis perempuan.

Akhir-akhir ini, pada Oktober 2022, sebuah kasus pemerkosaan berencana yang terjadi di Kemenkop UKM, yang korban menjadi disepelekan di tempat kerja. Bahkan berusaha memberikan opsi melalui mediasi hukum “berdamai” dengan bermaksud menakut-nakuti bahwa melalui hukum dan pengadilan itu akan menguras banyak biaya. Sungguh kesalahan berfikir yang kemudian eksistensi hukum dihilangkan.

Atas sebagaimana kasus di atas, eksistensi dan gerakan serang perempuan sangat dibatasi. Artinya, kelemahan pasal dalam menjawab tantangan ini sungguh masih sangat jadi misteri. Pada dasarnya, hukum secara jenis bagian kondisi sikologis, harus bisa memberikan sanksi atas korban pelecehan seksual. Pemerintah sepantasnya kembali memberikan revisi yang atas diberlakukannya pasal-pasal yang akan mengarah pada kontrovensialisme arti.

Harus diakui, KUHP yang terdiri dari 624 pasal lengkap dengan penjelasannya ini telah mengakomodasi model pemidanaan yang jauh lebih baik daripada KUHP versi kolonial Belanda saat ini. Pasal 51 dan 52 RKUHP baru ini telah merumuskan tujuan pemidanaan yang lebih humanis. Selain juga terdapat pedoman penjatuhan pidana dalam Pasal 53 hingga 56 yang mewajibkan hakim berlaku adil. Rumusan double track system, yakni sistem sanksi dua jalur yang tidak hanya sanksi pidana (Pasal 64–102) tapi juga sanksi tindakan (Pasal 103–111), juga tegas diatur.

Maka, masih terdapat tiga tahun, upaya pemerintah untuk tidak memberikan interpretasi yang ambigu atas terbentuknya KUHP yang sudah disahkan ini. Budaya patriarki dan peka terhadap perjuangan perempuan atas perlakuan sama di hadapan hukum kita semogakan tidak hanya terus menerus menjadi misteri yang terus mengecam budaya-budaya yang tidak elok dirumuskan dalam sebuah kitab hukum yang dipegang oleh negara.

***

*) Oleh: Muhammad Nafis S.H,. M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.