TIMES MALANG, LAMONGAN – Isu penegakan hukum yang tidak sesuai dengan harapan publik, akan selalu muncul di setiap hadirnya suatu rezim yang berkuasa. Harapan diterapkannya hukum yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan tajamnya hukum ke semua arah, adalah penegakan hukum yang ideal.
Hukum dan penegakannya tidak terlepas dari manusia sebagai penegak hukum, yang mendiami diberbagai institusi penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, Pengadilan dan Law firm). Dalam konteks ini, memahami penegak hukum dalam bingkai “manusia” adalah variabel penting dalam rangka memahami penegakan hukum secara komprehensif.
Penegakan hukum, baik sebagai profesi maupun institusi, merupakan pilar utama dalam menjaga ketertiban masyarakat. Polisi, hakim, jaksa, dan petugas penegak hukum lainnya memikul tanggung jawab besar untuk menjaga keadilan, mencegah kejahatan, dan menegakkan supremasi hukum.
Di tengah beratnya tugas dan harapan publik, sering kali terjadi pengabaian terhadap satu hal penting: dimensi kemanusiaan dari penegakan hukum. Memahami sisi manusia dari penegak hukum sangat penting untuk menciptakan sistem peradilan yang empatik, efektif, dan inklusif.
Tulisan ini mencoba mengkaji dilema psikologis, emosional, dan etika yang mereka hadapi serta menekankan pentingnya memanusiakan para pelaku penegakan hukum untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih seimbang dan penuh kasih. Para penegak hukum sering dipandang sebagai perwujudan otoritas dan keadilan, namun peran mereka secara inheren bersifat kompleks dan memiliki banyak aspek.
Di satu sisi, mereka adalah pelaksana hukum; di sisi yang lain, mereka adalah individu yang terikat pada norma-norma sosial dan rentan seperti warga negara yang mereka layani. Dualitas ini menciptakan ketegangan yang dapat menyebabkan konflik moral, stres, dan, dalam beberapa kasus, kehilangan semangat kerja.
Misalnya, polisi sering terpapar pada situasi yang berbahaya dan penuh emosi. Menanggapi kejahatan kekerasan, perselisihan rumah tangga, atau keadaan darurat yang mengancam jiwa memerlukan kombinasi pengetahuan hukum, pengambilan keputusan cepat, dan ketahanan emosional. Meskipun tugas-tugas ini membutuhkan keterpisahan profesional, beban psikologis kumulatif dari pengalaman tersebut sering kali berujung pada kelelahan, gangguan stres pasca-trauma, atau berkurangnya empati.
Hakim dan jaksa menghadapi tantangan mereka sendiri. Dengan tugas menafsirkan hukum dan memberikan keadilan, mereka sering dihadapkan pada dilema etika yang kompleks, seperti keputusan hukuman yang dapat mengubah hidup seseorang. Dalam kasus di mana hukum tampaknya bertentangan dengan prinsip moral, beban keputusan tersebut dapat membawa dampak emosional yang signifikan.
Memahami Manusia di Balik Seragam
Untuk sepenuhnya memahami penegak hukum, kita harus menghargai sisi kemanusiaan dari mereka yang bertugas. Penegak hukum bukanlah entitas yang tidak dapat salah; mereka adalah individu yang dibentuk oleh latar belakang, keyakinan pribadi, dan konteks sosial mereka. Faktor-faktor ini secara tak terelakkan memengaruhi pengambilan keputusan dan interaksi mereka dengan masyarakat.
Sebagai contoh, bias implisit-sikap bawah sadar yang memengaruhi perilaku-ditemukan di antara semua individu, termasuk penegak hukum. Bias ini, jika tidak dikendalikan, dapat menyebabkan praktik diskriminatif, terutama di masyarakat yang ditandai oleh ketidaksetaraan historis atau sistemik. Memahami asal-usul bias ini dan menerapkan program pelatihan untuk mengatasinya sangat penting dalam mendorong penegakan hukum yang adil.
Selain itu, mengakui kebutuhan emosional para petugas juga penting. Budaya stoisisme yang sering mewarnai institusi penegakan hukum dapat menghalangi personel untuk mencari bantuan dalam masalah kesehatan mental. Mendorong dialog terbuka tentang kesehatan mental serta menyediakan sumber daya untuk konseling dan dukungan dapat secara signifikan meningkatkan kesejahteraan dan kinerja mereka.
Perspektif manusia juga mengharuskan kita untuk memeriksa dilema etika yang sering dihadapi oleh penegak hukum. Prinsip "keadilan untuk semua" sering kali berbenturan dengan kompleksitas dunia nyata.
Sebagai contoh, apakah seorang petugas harus memprioritaskan kepatuhan ketat pada hukum dibandingkan dengan kebijaksanaan yang penuh kasih saat menghadapi pelanggaran ringan yang dilakukan karena keputusasaan? Demikian pula, jaksa mungkin menghadapi dilema etis dalam mengejar hukuman berat dalam kasus di mana tekanan masyarakat menuntut pembalasan tetapi keadaan mengisyaratkan rehabilitasi.
Dilema ini menyoroti pentingnya pelatihan etika yang melampaui kepatuhan prosedural. Dengan mendorong budaya berpikir kritis dan penalaran moral, lembaga penegak hukum dapat memberdayakan personel mereka untuk menghadapi tantangan ini dengan integritas dan keadilan.
Memanusiakan penegak hukum bukan berarti membenarkan pelanggaran atau menurunkan standar akuntabilitas. Sebaliknya, ini melibatkan pengakuan terhadap kemanusiaan yang melekat pada petugas, memahami perjuangan mereka, dan membekali mereka dengan alat untuk menjalankan tugas mereka secara etis dan efektif.
Pembuat kebijakan dapat memainkan peran penting dalam upaya ini dengan memprioritaskan reformasi yang mengatasi masalah sistemik. Pendanaan yang memadai untuk dukungan kesehatan mental, pelatihan keberagaman, dan program keterlibatan masyarakat dapat secara signifikan meningkatkan lingkungan kerja bagi penegak hukum.
Demikian pula, reformasi yang bertujuan mengurangi beban kerja yang berlebihan, seperti pengalihan tanggung jawab untuk masalah non-kriminal (misalnya, krisis kesehatan mental) kepada profesional khusus, dapat meringankan sebagian tekanan yang mereka hadapi.
Kampanye pendidikan dan kesadaran juga dapat meningkatkan empati dan kolaborasi antara penegak hukum dan masyarakat. Dengan menekankan tujuan bersama untuk menciptakan masyarakat yang aman dan adil, inisiatif ini dapat membantu menghapus mentalitas "kami versus mereka" yang sering menghambat kerja sama.
Memahami penegak hukum melalui perspektif manusia adalah hal yang penting untuk membangun sistem peradilan yang melayani masyarakat secara adil dan penuh kasih. Dengan mengakui kompleksitas peran mereka, menangani tantangan psikologis dan etika mereka, serta mendorong hubungan yang lebih kuat dengan komunitas, kita dapat menciptakan lingkungan di mana penegak hukum dan warga negara bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Empati, rasa hormat, dan akuntabilitas harus menjadi dasar pendekatan ini. Dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa individu di balik seragam tidak hanya menjadi penegak hukum yang efektif tetapi juga penjaga cita-cita tertinggi kemanusiaan. Hanya dengan begitu, penegak hukum dapat benar-benar memenuhi misinya untuk melayani dan melindungi masyarakat.
***
*) Oleh : Anshori, Direktur Pusat Study Hukum dan Sosial Lamongan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |