https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Cara Agar Anak Mencerdasi Kehidupan

Selasa, 27 Desember 2022 - 14:06
Cara Agar Anak Mencerdasi Kehidupan Abdur Rohman, Santri Ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Pernahkah kita bertanya, mengapa banyak diantara seorang anak, ketika lulus sekolah bahkan perguruan tinggi sulit untuk mendapatkan pekerjaan?

Banyak anak dapat menjawab soal-soal ujian sekolah dengan mudah, bahkan menjadi juara di kelas dengan nilai tinggi. Namun, mereka kesulitan untuk menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Lantas, apa solusi dari kecamuk tanya tadi?

Kiranya kita perlu tahu bahwa sekolah di Tanah Air berjumlah ratusan ribu seperti yang telah dilaporkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dengan jumlah 217.283 pada tahun ajaran 2020/2021. Jumlah itu terdiri dari 148.743 Sekolah Dasar (SD), 40.597 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 13.865 Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 14.078 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Bukan tidak mungkin satu tahun ke depan, akan terus meningkat jumlahnya. Namun tetap saja dengan jumlah sebanyak itu belum meningkat secara signifikan, baik pada aspek kemakmuran di satu sisi dan kesejahteraan masyarakat di sisi lain. Kuantitas tidak berparalel dengan kualitas yang dihasilkan. 

Cerdas keuangan sejak dini idealnya menjadi pondasi bagi setiap orang, khususnya pelajar, agar nanti anak-anak kita dapat menghadapi tantangan serta persaingan yang ketat, apalagi di zaman digitalisasi saat ini.

Jika kita melihat, kelulusan dari sekolah ataupun perguruan tinggi banyak dari mereka yang menganggur, menjadi beban bagi keluarga dan negara. Karenanya, sekolah maupun perguruan tinggi atau lembaga sejenis tidak bisa dijadikan neraca untuk mereka sukses kelak di kehidupan yang sebenarnya.

Salah seorang pengusaha terkenal asal Amerika Serikat Robert T. Kiyosaki memaparkan dalam buku best sellernya berjudul “Rich Dad Poor Dad” bahwa, solusi agar anak menjadi cerdas untuk menghadapi kehidupan adalah cakap keuangan. Tak jarang, faktor ekonomi atau keuangan dalam hal ini menjadi momok setiap orang, karena kebutuhan primer (pokok) maupun sekunder bahkan tersier tak lain bermuara pada keuangan. 

Dari persoalan itu sekolah tidak hanya dijadikan satu-satunya solusi. Bahkan kurikulum di sekolah-sekolah pun belum menginput pelajaran akan pentingnya keuangan guna menjalani kehidupan sesungguhnya. Jika pun ada hanya segelintir guru yang benar-benar berjuang untuk mencerdaskan bangsa. Oh ternyata ada loh prodi di SMK, misalnya.

Hemat penulis, jurusan tertentu di sekolah kejuruan, tak lain yang dipelajari hanyalah kalkulasi hitung-hitungan semata agar kelak mereka diterima “bekerja” bukan pada dimensi kehidupan nyata jauh dari makna sesungguhnya. Seringkali didapati, ketika mereka telah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang besar setiap bulannya, pesangon itu akan hilang tertiup angin dalam beberapa hari bahkan 24 jam. 

Kisah Michael Carrol bisa menjadi perenungan. Ia adalah orang yang telah memenangkan hadiah lotre atau undian sebesar 9.736.131 poundsterling pada tahun 2002 silam. Jika dirupiahkan, sama dengan lebih kurang 200 miliar rupiah. Karena kebergantungan pada uang, hidup berfoya-foya, tidak bisa mengatur keuangan dengan baik, seolah dengan uang ia mendapatkan segalanya, hingga pada akhirnya ia terperosok jatuh miskin dan berprofesi sebagai pengumpul sampah. Dari kasus ini kita belajar, bahwa melek keuangan sangatlah urgen.

Penawaran dari Robert adalah mengubah cara pandang tentang uang dan keuangan. Ketika biasanya orang bekerja demi mengejar uang, maka mindset itu dibalik dengan “bagaimana agar uang itu bekerja untuk kita”. Mengubah cara pandang demikian sangatlah penting, untuk membangun dan meluaskan perspektif bagi setiap orang, khususnya anak usia dini. 

Peran orang tua menjadi sosok terdepan untuk merubah perspektif anak. Menanamkan konsepsi untuk tidak bergantung pada uang, mengajarkan bahwa tidak semua kebahagiaan bisa di beli dengan uang dan seterusnya. Sehingga kelak ketika sang anak telah memahami akan pentingnya kecerdasan keuangan maka mereka akan berpikir untuk tidak menghambur-hamburkan uang dan justru mengalokasikan uang itu dengan menabung, investasi, usaha dan sebagainya.

Maka dari itu, asumsi bahwa manakala anak sekolah tinggi, mendapatkan juara kelas setiap tahunnya, meraih juara satu olimpiade makan kerupuk, dan sebagainya, hal demikian tidak dapat dijadikan tolok ukur bagi kesuksesannya kelak di dunia yang sesungguhnya.

Bahkan bagi strata sosial menengah ke bawah, sekolah dianggap toxic (racun) yang mengganggu stabilitas ekonomi mereka, alasannya tak lain adalah meroketnya biaya untuk mendapatkan tiket masuk ke lembaga pendidikan. Dalam konteks ini, bukan berarti kita menyalahkan lembaga pendidikan yang sudah berjalan di Indonesia, namun kita harus peka dengan berbagai perubahan yang sangat pesat di tengah-tengah kita. IoT (Internet of Things), digitalisasi, sosial media, pop, metaverse dan sebagainya.

Dari sini, benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa dalam pendidikan kita harus menyadar-insyafi akan perubahan zaman. Tak hanya itu, beliau juga berpesan akan perubahan yang terjadi kini sangatlah materialistis, tidak sesuai dengan budaya di Indonesia. Oleh karenanya dengan memperkuat akar budaya kita, saat bersamaan kita tidak akan tumbang oleh hembusan digitalisasi di satu sisi dan cengkraman teknologi di sisi lain, dimana hal itu mengarah pada kehidupan individualistis yang tidak sesuai dengan budaya kita.

Demikian, semoga kini dan nanti, anak kita dapat mencerdasi kehidupan.

***

*) Oleh: Abdur Rohman, Santri Ponpes Luhur Baitul Hikmah sekaligus mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.