TIMES MALANG, MALANG – Ratusan dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) dari berbagai daerah di Indonesia menggelar aksi demonstrasi di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Senin (3/2/2025). Mereka tergabung dalam Aliansi Dosen Kemdiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) dan menuntut pemerintah segera membayarkan tunjangan kinerja (tukin) yang belum diterima sejak 2020.
Aksi ini menarik perhatian publik karena melibatkan akademisi dari berbagai perguruan tinggi negeri yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek). Mereka menilai keterlambatan pembayaran tukin mencerminkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan tenaga pendidik di perguruan tinggi negeri.
Dari Jawa Timur, sekitar 150 dosen turut serta dalam aksi tersebut. Salah satunya adalah Sam Ardi, dosen hukum sekaligus Koordinator ADAKSI Wilayah Jawa Timur asal Kota Malang.
Dalam wawancaranya, ia menjelaskan bahwa aksi ini telah dipersiapkan secara matang melalui koordinasi antara dosen di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua.
"Koordinasi di-handle langsung oleh koordinator wilayah masing-masing. Kami datang ke Jakarta dengan biaya mandiri karena ini adalah perjuangan untuk hak kami," ujar Sam Ardi.
Menurutnya, aksi ini bukanlah gerakan politik atau atas nama institusi kampus, melainkan murni inisiatif para dosen ASN yang merasa hak mereka belum terpenuhi.
"Secara prinsip, ini adalah pergerakan dosen-dosen yang meminta hak mereka berupa tukin. Kami tidak bertindak untuk dan atas nama institusi, tetapi atas nama profesi yang telah lama mengabdi untuk pendidikan tinggi di Indonesia," jelasnya.
Dalam aksi ini, ADAKSI mengajukan tuntutan konkret kepada pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto dan kementerian terkait.
"Kami meminta Presiden Prabowo Subianto untuk segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tukin bagi dosen ASN, serta meminta kementerian terkait segera menunaikan pembayaran tukin yang merupakan hak dosen Kemendikti Saintek," tegas Sam Ardi.
Ia menjelaskan bahwa keterlambatan pembayaran tukin telah berlangsung selama lima tahun dan berdampak pada kesejahteraan dosen di seluruh Indonesia. Tukin bukan hanya sekadar tambahan penghasilan, tetapi juga bentuk apresiasi negara terhadap tenaga pendidik yang telah mengabdi di perguruan tinggi negeri.
Menanggapi pernyataan Kemendikti Saintek yang sebelumnya menyarankan agar para dosen menyampaikan aspirasi melalui jalur komunikasi resmi, Sam Ardi menilai bahwa aksi massa merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh undang-undang.
"Aksi massa adalah jalur yang dijamin oleh konstitusi kita. Jika ada pihak yang mengatakan ini bukan jalur resmi, maka mereka harus membaca ulang Undang-Undang Dasar kita," ujarnya.
Ia menekankan bahwa jalur komunikasi resmi sudah berkali-kali ditempuh, namun hingga kini belum ada solusi konkret dari pemerintah. Mengenai kemungkinan aksi lanjutan, Sam Ardi menegaskan bahwa para dosen tidak akan berhenti sampai tuntutan mereka benar-benar dipenuhi.
"Ya, akan ada aksi lanjutan jika hak kami masih diabaikan. Kami akan terus bergerak sampai ada kebijakan konkret dari pemerintah," katanya.
Menurutnya, aksi ini adalah bentuk perlawanan akademisi terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan tenaga pendidik. Terakhir, Sam Ardi berharap pemerintah lebih peka terhadap kesejahteraan dosen ASN tanpa harus menunggu mereka turun ke jalan.
"Saya berharap pemerintah peka dan peduli terhadap profesi ASN dosen, tanpa harus menunggu mereka melakukan aksi. Karena tonggak pendidikan tinggi ada pada mereka. Jemput bola tanpa harus menunggu usulan dengan mengecek secara berkala aturan kesejahteraan dosen," pungkasnya. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |