TIMES MALANG, MALANG – Gerakan radikalisme dibuat semakin sempit peluangnya masuk ke lingkungan kampus. Salah satu langkahnya, UIN Malang melalui Pusat Studi Sosial dan Budaya adalah melakukan diskusi horizontal yang mengkaji readikalisme dari perspektif psikologi dan sosial.
Diskusi yang dikemas dalam seminar nasional itu bertajuk Menakar Radikalisme dan Menawar Solusi Melalui Perspektif Psikologi Positif. Hadir sebagai narasumber Guru Besar Psikologi Klinis Mikro Prof. Johana Endang Prawitasari, Ph.D, Guru Besar Ilmu Studi Islam Prof. Dr. Umi Sumbulah, M.Ag dan Mantan Narapidana Terorisme Ustadz Abu Fida, Lc.
Sekitar 200 peserta dari berbagai elemen masyarakat memenuhi gedung Aula Gedung B, Pascasarjana UIN Malang, Kamis (31/10/2019). Mereka didominasi oleh mahasiswa, sebagian dari komunitas literasi, komunitas lintas agama, Gusdurian, dan instansi lainnya.
Guru Besar Ilmu Studi Islam Prof. Dr. Umi Sumbulah, M.Ag jelas mengatakan, radikalisme berbeda dengan terorisme. Radikalisme tidak selalu melakukan aksi terorisme, tapi terorisme pasti radikal.
“Nah, bisa jadi pintunya masuk lewat sini (radikalisme, red),” kata Umi, yang juga menjabat Direktur Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Lebih lanjut, ia menerangkan tentang konsep, fenomena dan pencegahan radikalisme di Indonesia. Menurutnya, radikalisme bisa berupa paham dan berupa gerakan. Paham radikal adalah paham yang dibangun seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan merubah tatanan sosial-politik yang ada dengan kekerasan.
Sedangkan gerakan radikalisme, masih kata Umi, adalah gerakan keagamaan yang berupaya merombak total tatanan sosial-politik yang ada dengan kekerasan.
“Ciri umum radikalisme di antaranya menolak pluralisme, menolak perkembangan historis-sosiologis dan perlawanan,” ucapnya.
Beberapa motif tindakan kekerasan dan terorisme seperti tidak puas terhadap pemerintah, tidak diberlakukannya syariat Islam secara kaffah, jihad melawan kemungkaran, dan pembalasan terhadap kaum kafir.
“Mereka bilang negara kafir karena tidak diberlakukannya syariah Islam secara kaffah. Tapi mereka nikahnya di KUA, terdaftar di negara. Kalau negara dianggap kafir, nggak sah dong. Mereka juga daftar CPNS. Nanti kalau diterima, gaji dari mana? Negara. Haram kan kalau dianggap kafir,” beber Umi.
Sementara, Prof. Johana Endang Prawitasari, Ph.D menawarkan keluwesan psikologis untuk menagkal radikalisme. Menurutnya, radikalisme bisa timbul akibat kaku dalam penghayatan dan pemahaman.
Di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) sendiri, telah menerapkan langkah-langkah antisipatif terhadap gerakan radikalisme. Civitas akademika di lingkungan PTKIN dilarang memakai cadar, harus memperlihatkan wajah dalam proses akademik.
Meskipun aturan ini, kata Umi, ada beberapa yang diatur secara tertulis dan sebagian masih secara kultural atau perkataan.
Selain itu, mereka dilarang terlibat organisasi yang bertentangan dengan ideologi negara. Bagi mahasiswa yang terlanjur terpapar radikalisme, mereka mendapat pendampingan dari pihak kampus.
Diskusi tentang radikalisme di kampus ini berlangsung meriah dan lancar. Mahasiswa UIN Malang yang mendominasi menjadi peserta, aktif berdiaolog membincang strategi dan sebagian memberikan testimoni tentang radikalisme. (*)
Pewarta | : Mohammad Naufal Ardiansyah |
Editor | : Faizal R Arief |