TIMES MALANG, MALANG – Kesetaraan gender masih menjadi isu yang belum merata di Indonesia, di mana laki-laki kerap diutamakan untuk peran penting, sementara perempuan sering kali ditempatkan sebagai pendukung.
Ini menjadi benang merah dalam Diskusi Publik bertema "Gender Equality dan Gender Privilege" yang digelar oleh Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya (UB), Selasa (29/10/2024), di Gedung Widyaloka.
Ken Swastyastu, menteri pemberdayaan perempuan progresif BEM Fakultas Hukum UB yang hadir menjadi pemateri, mengatakan bahwa masih banyak orang yang tidak memahami pentingnya konsep gender equality bagi keseimbangan dinamika masyarakat, baik itu untuk laki-laki maupun perempuan.
Ken juga menyampaikan bahwa gender equality tidak hanya tentang mendapatkan hak yang sama, melainkan memastikan akses yang adil untuk semua orang, baik di bidang pendidikan, pekerjaan, maupun politik.
“Kesetaraan gender adalah tentang memberi kesempatan yang setara bagi semua gender. Saat ini, masih banyak perempuan di Indonesia yang belum memperoleh akses setara, terutama dalam posisi kepemimpinan atau pekerjaan tertentu yang dianggap ‘khusus untuk laki-laki’,” ujar Ken.
Ken juga menjelaskan bahwa gender equality merujuk pada kondisi di mana semua gender memiliki akses dan kesempatan yang sama di berbagai bidang, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan politik.
"Kesetaraan gender bukan hanya soal mendapatkan hak yang sama, tetapi juga tentang memastikan akses yang adil bagi semua individu tanpa terkecuali," ungkapnya.
Sementara itu, gender privilege diartikan sebagai keistimewaan yang diterima satu gender di atas gender lain. "Gender privilege adalah bentuk hak istimewa yang diperoleh karena perbedaan gender, bukan karena kemampuan atau usaha," jelas Ken.
Sebagai contoh, dalam beberapa budaya, laki-laki lebih diutamakan untuk posisi penting, sementara perempuan seringkali ditempatkan dalam peran pendukung. Ini adalah praktik yang perlu diperhatikan dan dicermati untuk menumbuhkan pemahaman mengenai perlunya kesetaraan.
Ken juga menekankan pentingnya pembentukan persepsi yang setara sejak dini, terutama dari lingkungan keluarga dan pendidikan. “Jika kita tidak memahami gender privilege sebagai bagian dari struktur yang kita bentuk sehari-hari, maka diskriminasi berbasis gender akan terus terjadi dan mungkin semakin sulit untuk diubah,” ungkapnya.
Sementara itu, pemateri lain, Al Muiz Liddnillah, seorang penulis buku dan peneliti sosial yang banyak membahas isu gender dalam buku-bukunya menjelaskan bahwa konsep gender privilege sebagai hak istimewa yang sering kali diterima satu gender di atas gender lainnya, bukan berdasarkan kompetensi atau usaha.
Menurutnya, di masyarakat yang masih patriarkal, laki-laki kerap mendapat keistimewaan secara sosial dan ekonomi, yang tidak selalu diberikan kepada perempuan. “Budaya patriarki di Indonesia telah menciptakan struktur sosial di mana laki-laki ditempatkan di posisi yang lebih tinggi, sedangkan perempuan sering kali dianggap pelengkap. Inilah yang perlu diubah agar kesetaraan gender dapat tercapai,” jelas Al Muiz.
Al Muiz juga menekankan konsep gender privilege sebagai hak istimewa yang sering kali diterima satu gender di atas gender lainnya, bukan berdasarkan kompetensi atau usaha. Menurutnya, di masyarakat yang masih patriarkal, laki-laki kerap mendapat keistimewaan secara sosial dan ekonomi, yang tidak selalu diberikan kepada perempuan.
“Budaya patriarki di Indonesia telah menciptakan struktur sosial di mana laki-laki ditempatkan di posisi yang lebih tinggi, sedangkan perempuan sering kali dianggap pelengkap. Inilah yang perlu diubah agar kesetaraan gender dapat tercapai,” jelas Al Muiz.
Al Muiz mencontohkan posisi perempuan di parlemen yang diatur melalui kuota 30% keterwakilan sebagai upaya menyeimbangkan akses bagi perempuan dalam politik.
“Kuota bukan sekadar keistimewaan, tetapi langkah untuk memastikan kesempatan setara bagi perempuan di ruang-ruang pengambilan keputusan,” jelas Al Muiz. (*)
Pewarta | : Putri Nailatur (MG) |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |