TIMES MALANG, BLITAR – Museum PETA Blitar merupakan situs bersejarah yang merekam perjuangan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dalam melawan pendudukan Jepang pada masa penjajahan. Terletak di Kota Blitar, museum ini menjadi ruang edukatif yang menyimpan artefak, jejak, dan monumen perjuangan menjelang kemerdekaan Indonesia.
Pada Selasa (5/8/2025), Fadhillio Ibra Farissandro Abriakto, pemuda Blitar yang memiliki minat pada sejarah, menelusuri jejak perlawanan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Kota Blitar, Jawa Timur. Fadhil juga menyambangi ruangan bersejarah berupa kamar kerja dan tidur milik Bundanco Halir Mangkudijaya, tempat dilangsungkannya rapat rahasia oleh Shodanco Soeprijadi dan rekan-rekannya menjelang pemberontakan 1945.
“Ruangannya tidak besar, tapi penuh makna. Saya bisa membayangkan bagaimana para tokoh bangsa berdiskusi diam-diam demi kemerdekaan. Ini pengalaman belajar sejarah yang sangat berkesan dan kita dapat merasakan spirit para pejuang,” ujar Fadhil.
Museum PETA Blitar dan Sejarah Perlawanan PETA
Museum PETA Blitar terletak di Jalan Soedanco Soeprijadi, tepat di depan Taman Makam Pahlawan Raden Wijaya. Monumen ini dibangun untuk mengenang peristiwa pemberontakan PETA melawan pendudukan Jepang pada 14 Februari 1945.
Pemberontakan dipimpin oleh Shodanco Soeprijadi, tokoh muda yang gagah berani menentang kekuasaan kolonial. Meski akhirnya gagal, perjuangan ini menjadi pemantik semangat kemerdekaan Indonesia.
Di kawasan museum, pengunjung dapat melihat patung tujuh pahlawan PETA yang berderet gagah di atas panggung utama. Mereka adalah Cudanco dr. Ismangil, Bundanco Halir Mangkudijaya, Shodanco Soeparjono, Shodanco Soeprijadi, Bundanco Soedarmo, Shodanco Moeradi, dan Bundanco Soenanto.
Selain monumen, terdapat pula replika pesawat tempur dan tank peninggalan masa penjajahan Jepang yang dipamerkan di halaman museum. Semua elemen ini dirancang untuk memberikan pengalaman edukatif kepada masyarakat.
Menurut catatan sejarah, pembangunan museum dilakukan oleh Yayasan PETA (YAPETA) dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 18 Desember 1995. Saat ini, pengelolaannya berada di bawah Pemerintah Kota Blitar dan menjadi bagian dari program strategis nasional.
Museum PETA Blitar tidak hanya menyimpan artefak sejarah, tetapi juga menjadi pusat edukasi perjuangan nasional. Kunjungan ke museum ini tidak dipungut biaya dan buka 24 jam setiap hari.
Kamar Tidur Bundanco Halir Jadi Lokasi Rapat Perjuangan PETA
Salah satu ruang paling penting di Museum PETA Blitar adalah kamar tidur milik Bundanco Halir Mangkudijaya. Di ruangan ini, sejak akhir Mei 1944 hingga 13 Februari 1945, diselenggarakan lima rapat rahasia menjelang pemberontakan besar.
Rapat pertama hanya diikuti empat tokoh utama: Shodanco Soeprijadi, Shodanco Moeradi, Shodanco Soemardi, dan Bundanco Halir sendiri. Jumlah peserta bertambah pada rapat kelima yang berlangsung malam sebelum pemberontakan, mencapai 25 orang.
Ruang kecil ini menjadi saksi bisu bagaimana strategi perlawanan disusun secara diam-diam, menandai kesungguhan dan keberanian para pemuda Indonesia dalam melawan penjajahan.
Fadhillio Ibra Farissandro menyatakan bahwa mengunjungi ruang ini memberikan pemahaman langsung tentang perjuangan yang selama ini hanya dikenalnya dari buku.
“Saya merasa lebih terhubung dengan sejarah bangsa setelah melihat langsung tempat ini. Ini bukan sekadar tempat, tetapi bukti nyata perjuangan,” ucap Fadhil.
Meski perjuangan mereka dibayar mahal, termasuk eksekusi mati oleh pengadilan militer Jepang, semangat PETA tetap hidup dalam sejarah bangsa.
Enam dari tujuh tokoh yang diabadikan dalam monumen PETA Blitar, termasuk Bundanco Halir, dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi di Eereveld Ancol, Jakarta, pada 16 Mei 1945. Sementara itu, Soeprijadi dinyatakan hilang dan keberadaannya hingga kini masih menjadi misteri sejarah.
Museum PETA Blitar sebagai Warisan Perjuangan
Kunjungan ke Museum PETA Blitar menjadi sarana refleksi perjuangan nasional. Di era modern, tempat ini menjadi destinasi edukatif yang menanamkan nilai-nilai cinta tanah air bagi generasi muda.
Lokasinya yang strategis di pusat kota memudahkan wisatawan untuk menjangkau berbagai titik sejarah lainnya.
Melalui kunjungan seperti ini, masyarakat diharapkan semakin mengenal dan menghargai jasa para pahlawan yang rela berkorban demi kemerdekaan Indonesia. (*)
Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |