TIMES MALANG, MALANG – Jelang Pemilihan Wali Kota Malang, Jawa Timur tahun 2024, marak bertebaran baliho-baliho calon Wali Kota Malang. Keberadaan baliho tokoh-tokoh yang akan ikut di Pilkada 2024 ini terlhat di seluruh penjuru kota Malang.
Contoh ini bisa dilihat sepanjang Jalan Mayjend Panjaitan. terdapat 64 baliho dari yang sudah terpasang di pohon dan tiang listrik di sisi kiri dan kanan jalan.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang (UM), Yuventia Prisca Diyanti Todalani Kalumbang, S.Sos., M.Fil menyampaikan pendapatnya terkait baliho yang terpasang telah terpasang di jalan-jalan.
“Sebetulnya karena Pilkada itu dipilih langsung oleh masyarakat, maka baliho-baliho itu adalah konsekuensi logis,” ujarnya. Kamis (4/7/2024)
Menurutnya, pemasangan baliho adalah konsekuensi yang logis karena mekanisme pemilihan kepala daerah, secara langsung dipilih oleh masyarakat.
Baliho dipandang sebagai bentuk pengenalan awal terhadap calon-calon wali kota bagi masyarakat setempat. “Baliho merupakan salah satu sarana pemasaran, tapi bukan satu-satunya,” jelasnya.
Dalam pengenalan terkait tokoh pencalonan, menurut akademisi tersebut tidak cukup melalui baliho saja. Ia juga memberikan beberapa sarana yang mungkin dapat dilakukan oleh tokoh yang mencalonkan diri sebagai walikota Malang.
Akademisi UM, Yuventia Prisca Diyanti Todalangi Kalumbang, S.Sos., M.Fil. (FOTO: Yuventia Prisca Diyanti Todalangi Kalumbang for TIMES Indonesia)
“Selain itu mungkin bisa pada ruang publik, seperti ngopi atau diskusi bareng dengan simpatisan atau masyarakat,” ujar dosen yang juga mengajar terkait politik di jurusan Ilmu Komunikasi UM tersebut.
Dengan menggunakan cara tersebut, mungkin masyarakat dapat lebih mengenal arah kebijakan yang mau dibuat oleh sang calon kepala daerah.
“Bisa juga melalui platform digital, misalnya live di IG atau bikin reels, atau kalau konvensional bisa melalui radio yang masih didengarkan oleh masyarakat,” tambahnya.
Tetapi, menurut Yuventi, untuk mentiadakan sama sekali baliho pencalonan itu merupakan hal yang tidak memungkinkan. “Tidak bisa, kecuali seperti pencalonan gubernur dulu yang dipilih langsung oleh Presiden,” tegasnya.
Untuk baliho yang tidak dipasang sesuai dengan ketentuan, dapat menjadi ranahnya Bawaslu untuk bisa menertibkan supaya pemasangan tetap bisa membuat publik merasa nyaman.
Akan tetapi, menurutnya jika calon wali kota nya banyak, mau tidak mau akhirnya ruang publik disesaki dengan sarana promosi.
Sementara itu, Sumiati, salah satu ibu rumah tangga yang bertempat tingga di Kota Malang, merasa tidak terganggu dengan adanya baliho tokoh yang akan mencalonkan diri sebagai wali kota di Malang.
“Karena orangnya baru semua, dan baliho sekarang itu lebih menarik kalimatnya jadi saya tidak merasa terganggu,” ujar ibu rumah tangga berusia 34 tahun tersebut.
Menurutnya, dengan adanya baliho, ia merasa terbantu untuk mengenali tokoh yang akan menjadi calon wali kota di Malang.
Meski berpendapat penggunaan baliho masih diperlukan pada saat ini, menurutnya perlu adanya peraturan yang lebih tegas agar keindahan dan tata kota tetap terjaga. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Marak Baliho Bakal Calon Wali Kota Malang, Dosen UM: Konsekuensi Pilihan Langsung
Pewarta | : Nadya Shafira Putri (MG) |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |