TIMES MALANG, MALANG – style="text-align:justify">Diskusi buku Dhianita Kusuma Pertiwi berjudul Makam Tanpa Nama: Mati dan Bertahan Hidup di Tengah Kekerasan Antikomunis di Jawa Timur (2024) berlangsung di Kafe Pustaka, Kota Malang, Rabu, 7 Mei 2025.
Buku ini merupakan hasil alih Bahasa dari buku karangan Vannessa Hearman, penulis sekaligus dosen sejarah di Curtin University, Australia, denan judul Unmarked Graves: Death and Survival in the Anti-Communist Violence in East Java, Indonesia (2018).
Acara ini diselenggarakan oleh LPM Kavling 10 Universitas Brawijaya, Kolektif Parrhesia, dan Pelangi Sastra Malang. Menghadirkan dua pembedah buku, Arif Subekti, S.Pd., M.A., dosen sejarah Universitas Negeri Malang dan Moh. Fikri Zulfikar, M.Pd., dosen sastra dan bahasa UIT Lirboyo Kediri.
Sesekali, Saring Pemahaman Kita dari Narasi Global
“Buku ini memaparkan kisah orang-orang yang mendapatkan diskrimasi dan tetap (berjuang) bertahan hidup. Ketika di penjara, pengadilan, dan lainnya,” jelas Arif. Baginya, buku ini menjadi unik, sebab ia mencoba untuk merekam kisah dari pihak yang kalah dalam sejarah. Kaum kiri, segera memiliki citra yang teramat kerdil katika masa Orba.
“Narasi tentang ‘kaum kiri’ di Indonesia, baru mendapatkan angin segar (kembali) setelah keruntuhan Orba,” imbuhnya.
Arif menerangkan, pentingnya masyarakat membaca dan menyadari sejarah secara komprehensif agar kita dapat menilai segala sesuatu dengan lebih objektif dan tidak mudah terbawa narasi global. Ia contohkan, semisal, peristiwa yang berhubungan dengan kaum kiri di Indonesia ini, kebanyakan masyarakat hanya mengenal peristiwa kelam G30S/PKI. Kemudian secara mutlak, seketika itu juga mereka menyatakan anti pada golongan tersebut.
“PKI itu bukan hanya tentang tragedi 1965. Tapi juga tentang 1926, 1948, 1955, dan seterusnya,” imbuhnya.
Arif melanjutkan, sebagai pembanding narasi dalam sejarah misalnya, pada 1926, golongan komunis melakukan perlawanan kepada otoritas kolonial Belanda yang kala itu tengah menjajah. Baginya, semua pihak dan golongan tetap memiliki peran positif dan negatifnya. Sisa citranya, ditentukan oleh narasi global yang sudah diatur oleh pihak pemenang.
“Latar di buku ini sangat dekat dengan kita. Jawa Timur. Setelah kita membaca buku ini, kita akan mudah mengetahui tempat-tempat yang disebutkan, pun bisa membayangkan cerita yang dilukiskan,” tutur Fikri.
Kediri dan Blitar selatan menjadi dua kawasan yang sering dicatat dalam buku karangan Vannessa Hearman itu, selain juga beberapa daerah lainnya, termasuk Malang. Jawa Timur, pada abad ke-20 memang menjadi salah satu provinsi basis massa kaum kiri.
Upaya Pencatatan Data yang Terpinggirkan
Vannessa Hearman, selain menggunakan kajian kepustakaan, ia juga memakai pendekatan live history dan oral history. Vannesa mencari lalu menemui para penyintas kekerasan antikomunis pada masa itu untuk kemudian ia wawancara, catat, dan menjadikannya sumber data.
“Pendekatan ini saya kira cukup representatif untuk mengontruksi kembali narasi orang-orang yang tidak tercatat dalam catatan sejarah (resmi). Pada dasarnya, cerita orang-orang kecil atau bisa kita sebut pihak yang kalah, seringkali hanya berada pada cerita tutur lisan. Kami menyebutnya intergeneration of memory” jelas Arif. (*)
Pewarta | : M. Arif Rahman Hakim (Magang MBKM) |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |