TIMES MALANG, JAKARTA – Mantan Perdana Menteri Tunisia yang juga Wakil Ketua Gerakan Ennahda, Ali Larayedh dijatuhi hukuman 34 tahun dalam "pengiriman jihadis."
Pada tahun 2022, Hakim antiterorisme Tunisia memutuskan memenjarakan Ali Laarayedh, mantan perdana menteri dan pejabat senior di partai oposisi Islam Ennahda, setelah dilakukan penyelidikan selama berjam-jam atas dugaan pengiriman jihadis ke Suriah.
Namun pihak Ennahda membantah dalam sebuah pernyataan tuduhan terorisme, dan menyebutnya hal itu sebagai serangan politik dari musuh Presiden Kais Saied untuk menyembunyikan "kegagalan pemilu yang membawa malapetaka."
Sumber keamanan dan resmi memperkirakan bahwa sekitar 6.000 warga Tunisia melakukan perjalanan ke Suriah dan Irak pada dekade lalu, untuk bergabung dengan kelompok jihad termasuk ISIS. Banyak yang terbunuh di sana sementara yang lain melarikan diri dan kembali ke Tunisia.
Seperti dilansir Al Jazeera, bahwa pengadilan Tunisia menjatuhkan hukuman 34 tahun penjara kepada Ali Larayedh.
Tim pembela Ali Larayedh mengatakan bahwa klien mereka, yang telah dipenjara di Tunisia sejak 2022 itu diadili dari jarak jauh tanpa kehadiran satu pun terdakwa di Pengadilan.
Kantor berita resmi mengutip seorang pejabat pengadilan yang mengatakan bahwa pengadilan juga menjatuhkan hukuman penjara yang berat bagi delapan orang lainnya dalam kasus yang sama, mulai dari 18 hingga 36 tahun.
Laarayedh menjabat sebagai Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri selama pemerintahan Ennahda setelah revolusi.
Dia telah ditahan sejak 22 September 2022 atas tuduhan mengirim kaum muda untuk berperang selama revolusi di Suriah.
Penyelidikan atas kasus ini dimulai setelah 25 Juli 2021, menyusul perebutan kekuasaan besar-besaran oleh Presiden Kais Saied pada tahun 2021, ketika ia membubarkan parlemen yang dipilih kemudian dan mulai memerintah dengan dekrit, sebelum memberhentikan puluhan hakim dan membubarkan Dewan Peradilan Agung.
Selain mantan Perdana Menteri Tunisia, Ali Larayedh, kasus ini juga melibatkan sekitar 800 orang, sebagian besar dari mereka adalah anggota gerakan Ennahda, berdasarkan pengaduan yang diajukan oleh seorang anggota parlemen perempuan. Ennahda dan kelompok oposisi lainnya mempertanyakan kredibilitas persidangan tersebut, dan menganggapnya jelas bersifat politis. (*)
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Imadudin Muhammad |