TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Pariwisata seringkali dipromosikan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi yang membawa manfaat bagi daerah dan masyarakat lokal. Namun, di balik angka kunjungan wisatawan dan peningkatan pendapatan daerah, ada gejala yang kian mengemuka dan patut dikritisi: pseudotourism dan gentrifikasi.
Dua fenomena ini menjadi wajah semu dari pariwisata Indonesia, yang justru bisa merugikan masyarakat lokal alih-alih memberdayakan mereka.
Pseudotourism, atau pariwisata semu, adalah bentuk pariwisata yang tampak mengangkat budaya dan kehidupan lokal, namun sebenarnya bersifat artifisial dan dikemas hanya demi kepentingan wisatawan.
Ini kerap terjadi ketika desa-desa wisata direkayasa agar sesuai dengan ekspektasi turis, bukan merepresentasikan kehidupan otentik masyarakat.
Kegiatan yang sebelumnya merupakan bagian dari rutinitas warga-seperti menenun, bertani, atau upacara adat-diubah menjadi tontonan yang terjadwal dan terstandar, kehilangan makna spiritual dan sosialnya.
Di beberapa destinasi di Indonesia, pseudotourism tumbuh subur. Desa-desa wisata dibangun dengan narasi "keaslian" yang dikurasi, namun kenyataannya jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Hotel dan resort megah berdiri di tengah kampung, kadang tanpa melibatkan warga secara signifikan dalam kepemilikan atau pengelolaan. Atraksi budaya dipertontonkan dalam bentuk yang “instagramable,” bukan edukatif atau kontekstual.
Fenomena ini kerap berjalan beriringan dengan gentrifikasi, yakni proses transformasi wilayah yang menyebabkan naiknya nilai properti dan biaya hidup, sehingga penduduk asli terpinggirkan.
Gentrifikasi di kawasan wisata umumnya dipicu oleh masuknya investor besar yang membeli lahan-lahan strategis, membangun penginapan mewah, kafe kekinian, dan fasilitas penunjang turisme massal.
Warga lokal yang tadinya menempati kawasan tersebut terpaksa menjual tanah mereka karena tak mampu mengikuti lonjakan harga, atau karena tekanan sosial dan ekonomi yang terselubung.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pariwisata di Indonesia masih berfokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan jumlah kunjungan, bukan keberlanjutan dan keadilan sosial.
Pemerintah, dalam membangun infrastruktur dan branding pariwisata, seringkali tidak melibatkan masyarakat lokal sebagai subjek utama pembangunan. Warga hanya dijadikan ornamen budaya, bukan pelaku aktif dalam menentukan nasib daerah mereka. Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Pertama, penting untuk merombak paradigma pembangunan pariwisata. Pemerintah daerah harus mulai menerapkan pendekatan pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism) yang otentik dan tidak top-down.
Ini berarti masyarakat lokal harus memiliki kontrol terhadap narasi budaya mereka sendiri, terhadap lahan mereka, dan terhadap arah pengembangan kawasan.
Kedua, regulasi mengenai kepemilikan lahan dan batasan pembangunan harus ditegakkan agar investor tidak bisa semena-mena menggusur atau mengambil alih wilayah masyarakat. Zonasi kawasan wisata juga perlu dievaluasi untuk mencegah gentrifikasi liar yang tidak terkendali.
Ketiga, edukasi kepada wisatawan juga krusial. Wisatawan harus didorong untuk tidak hanya “menikmati” destinasi, tetapi memahami konteks sosial-budaya di baliknya. Kampanye sadar wisata yang berbasis empati dan keberlanjutan perlu digencarkan.
Pariwisata yang sehat bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal identitas, keadilan, dan keberlangsungan hidup komunitas lokal. Jika kita tidak hati-hati, Indonesia bisa menjadi negara dengan wajah-wajah eksotik yang kosong, tempat di mana budaya dikomodifikasi, dan masyarakat lokal menjadi tamu di tanah sendiri.
***
*) Oleh : Antonius Satria Hadi, PhD., Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |