TIMES MALANG, MALANG – Terdakwa Isa Zega menghadirkan Roy Suryo sebagai saksi yang meringankan di Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Kabupaten Malang, Rabu (23/4/2025).
Selama persidangan, keterangan ahli yang pernah ikut mengawal perumusan UU ITE ini, banyak mendapatkan tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sejumlah pennyataannya justru terbantahkan oleh bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa.
Dalam keterangannya, Roy menegaskan satu hal penting, bahwa alat bukti seperti postingan (unggahan) berupa gambar dan video harus melalui uji forensik terlebih dahulu. Jika tidak, maka menurutnya tidak sah menjadi alat bukti.
Namun dalam fakta persidangan, syarat alat bukti yang disebut oleh Roy tersebut, sudah melalui uji lab forensik. Dan itu juga ditunjukkan kepada Roy Suryo, majelis Hakim, kuasa hukum terdakwa, juga terdakwa Isa Zega.
Kemudian, majelis hakim juga menegaskan bahwa terkait alat bukti yang harus uji forensik tidak diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam sidang tersebut, setelah menjawab pertanyaan dari Kuasa Hukum Isa Zega, pakar telematika itu menjawab pertanyaan dari empat Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Majelis Hakim. Pertanyaan JPU dimulai tentang dokumen elektronik.
Menurut Roy Suryo, dokumen elektronik jika sesuai ITE nomor 11 Tahun 2008 yang sudah direvisi, adalah sebuah alat bukti non elektronik.
"Namun, (dokumen) file tidak boleh fotokopi atau elektroniknya saja. Ada filenya, ektensinya doc, gambar PNG atau jpeg, video 3gp. Dokumen elektronik itu disahkan oleh hukum jadi alat bukti sah," jelasnya.
Lalu JPU juga menanyakan, ketika sebuah video yang terunggah di sosial media Instagram dan sudah diakses publik dan diketahui umum, lantas bisakah file diambil sebagai barang bukti.
"Bisa memenuhi pasal 5 (UU ITE), tapi kalau jadi alat bukti pasal 27, tidak boleh serta merta diunduh jika private, jika bukan friend sosmed. Proses pribadi download tidak apa-apa, untuk melawan hukum seseorang harus izin yang bersangkutan, harus ada BAP terkait proses mendowloadnya," terang Roy Suryo.
"Jadi alat bukti harus lengkap, tidak boleh capture Instagram, harus ada linknya. belakangnya html. Kalau diposting dan cara download tidak sesuai UU ITE , secara hukum itu tidak sah jadi alat buktinya, meski itu bisa jadi dokumen elektronik saja," imbuhnya.
Dalam kesempatan itu JPU kemudian menunjukkan link awal dari postingan terdakwa Isa Zega, ketika dalam proses penyidikan. JPU menyampaikan ternyata link itu sudah disimpan, kendati oleh terdakwa kemudian unggahan yang jadi alat bukti sudah dihapus.
"Alat bukti sah harus ada uji forensik. Kalau di persidangan sudah tidak bisa diakses, harus ada bukti forensik," jawab Roy kukuh.
Dalam sidang itu, JPU kemudian menunjukkan hasil uji lab atas alat bukti, dan disaksikan oleh majelis, ahli dan kuasa hukum terdakwa. Dan hasil uji lab itu diakui oleh Roy, setelah dipertegas oleh majelis hakim.
Selanjutnya, JPU menegakan, yang disampaikan Roy Suryo tidak ada dalam frasa undang-undang ITE terbaru. Hal itu juga dibenarkan oleh Roy Suryo. Namun demikian, menurutnya terkait barang bukti untuk kasus ITE, Polri sudah membuat aturan untuk penyidik.
"UU ITE tidak mensyaratkan, tapi kepolisian mensyaratkan. (Memang) tidak ada karena undang-undang ITE tidak mengatur itu," aku Roy.
Syarat untuk itu ada dalam peraturan Kapolri atau Perkap. Namun Roy mengaku tidak tahu detailnya karena ia bukan mitra Polri.
Menurutnya, penyidik dengan aturan internal tersebut agar lebih hati-hati.
"Kenapa saya tahu karena sering dilibatkan jadi ahli internal, sekarang mereka punya ahli sendiri," urai Roy.
Mengenai alat bukti, Roy mengatakan bahwa apa yang ditunjukkan menurut pandangan ahli bukan postingan.
"Karena itu file sendiri, ekstensinya jpeg dan MP4. Betul ada berupa link, tapi itu link mati, sebelum dapat dibuktikan aksesnya, harus ada data uji forensik penyidik," terangnya.
Ia katakan, sepanjang ada analisis forensiknya, maka itu adalah postingan.
"Itu tadi file bukan postingan, bukan hal masuk ITE. Meskipun dulu diposting dan disave, mensave postingan harus lengkap link-nya, ada analisis dan print out," sebut Roy.
Roy juga menguraikan terkait ketentuan pasal 27, ada mendistribusikan, menjawab pertanyaan salah satu hakim persidangan.
Dianggap mendistribusikan, kata Roy, jika ada sender dan reciepient. Akun bersangkutan sebagai bukti terdistribusi ke jaringan, untuk mencocokkan, harus dicek dia mengeluarkan detik waktunya.
"Kalau tidak terbukti orang itu bisa mengelak, maka harus ada uji forensik," imbuhnya.
Lalu apa bedanya mentransmisikan, tanya majelis. Menurut Roy, berbeda dengan distribusi, ada kontak tujuan-tujuan. Adapun transmisi mirip transmisi radio, kadang tak perlu kita tahu resipiennya, seperti halnya siaran tekevisi.
Menyambung keterangan ahli, Ketua Majelis Hakim Ayun Kristiyanto menanyakan kenapa dalam UU ITE, dalam penjelasan, batang tubuh dan lainnya, tidak disebutkan secara jelas mengenai alat bukti tindak pidana elektronik, atau sahnya alat bukti kenapa tidak disebutkan.
"Sudah sekian kali saya mendengar masukan ini dalam ITE, memang agak mengesalkan, penjelasanya. Padahal sebenarnya ada di naskah akademik, hanya ketika kita jahit, komisi I dipertimbangkan amat terlalu teknis," jelas Roy.
Lalu dalam pasal 27 A dan B, mengenai mendistribusikan, apakah itu delik aduan atau biasa. Roy menjawab, ketika membahas memang ada dua, bersifat delik aduan atau umum.
"Dalam artian, tanpa aduan aparat bisa. Sepanjang masuk tindakan SARA tidak termasuk delik aduan," terangnya.
Menurut Ayun, UU ITE sudah tiga kali perubahan, sampai penjelasan tidak dijelaskan rinci bagaimana alat bukti elektronik.Terkait itu, Ayun menyarankan agar pakar telematika memberi masukan lain hari terkait UU ITE itu, karena fakta persidangan di sini, bahwa alat bukti sudah sah.
Lalu bagi pihak yang melaporkan, tanya Ayun, apakah subyek dan obyek harus perorangan, apakah badan hukum bisa jadi pelapor. Roy menegaskan bahwa badan hukum bisa menjadi pelapor.
Sidang masih berlanjut dengan ahli pidana yang akan dihadirkan oleh Isa Zega dan kuasa hukumnya. Ahli pidana itu adalah dosen Universitas 17 Agustus, Dr. Yongky Fernando. (*)
Pewarta | : Khoirul Amin |
Editor | : Imadudin Muhammad |