TIMES MALANG, JAKARTA – Amerika Serikat dan Rusia kembali membuka jalur diplomasi dengan menggelar pertemuan tingkat tinggi di Arab Saudi. Dalam perundingan tersebut, kedua negara sepakat untuk memulihkan hubungan diplomatik, membentuk tim khusus guna mendukung perundingan damai di Ukraina, serta mengeksplorasi kerja sama ekonomi yang lebih erat.
Langkah ini menandai pergeseran signifikan dalam kebijakan luar negeri Washington di bawah pemerintahan Donald Trump, yang tampaknya mengambil pendekatan berbeda dari pendahulunya, Joe Biden. Namun, absennya perwakilan dari Uni Eropa dan Ukraina dalam perundingan ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai posisi kedua pihak dalam proses perdamaian yang sedang digagas.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menegaskan bahwa dialog dengan Rusia menjadi bagian dari strategi baru Washington untuk mencari solusi diplomatik dalam konflik Ukraina.
"Kami sepakat untuk membuka kembali jalur komunikasi yang lebih erat dengan Rusia. Ini adalah langkah penting dalam mengakhiri perang dan mengembalikan stabilitas global," ujar Rubio dalam konferensi pers di Riyadh, Selasa (18/2/2025).
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, menyambut baik langkah ini dan menyebutnya sebagai momen strategis dalam memperbaiki hubungan bilateral yang sempat memburuk akibat perang dan sanksi ekonomi.
"Kami tidak hanya saling berbicara, tetapi juga saling mendengar. Amerika Serikat mulai memahami posisi Rusia terkait Ukraina, dan kami berharap ini akan membuka jalan bagi kerja sama yang lebih luas," kata Lavrov dalam wawancara dengan media Rusia setelah pertemuan tersebut.
Nasib Eropa dan Ukraina Dipertanyakan
Sikap AS dalam perundingan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemimpin Uni Eropa, yang selama ini menjadi mitra utama Washington dalam memberikan dukungan kepada Ukraina. Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, serta beberapa pejabat tinggi Eropa dikabarkan telah bertemu dengan utusan khusus AS, Keith Kellogg, untuk meminta kejelasan mengenai posisi mereka dalam negosiasi.
Namun, hingga saat ini, belum ada jaminan bahwa Uni Eropa akan mendapatkan tempat dalam perundingan utama. Rubio menyatakan bahwa Uni Eropa kemungkinan akan diundang hanya untuk membahas pencabutan sanksi terhadap Rusia, bukan untuk menjadi bagian dari proses negosiasi perdamaian.
"Pada akhirnya, Uni Eropa harus dilibatkan dalam diskusi mengenai sanksi, karena mereka juga yang menjatuhkan sanksi tersebut. Tetapi dalam hal negosiasi inti, kami fokus pada dialog langsung dengan Rusia," tegas Rubio.
Sikap ini bertentangan dengan kebijakan Uni Eropa yang secara konsisten menyatakan bahwa Rusia harus bertanggung jawab atas agresinya terhadap Ukraina. Brussels baru-baru ini mengesahkan paket pinjaman inovatif untuk Ukraina dengan menggunakan aset Rusia yang dibekukan sebagai agunan. Jika kesepakatan dengan Rusia nantinya mencakup pelepasan aset tersebut, maka Uni Eropa akan menghadapi dilema besar dalam strategi dukungannya terhadap Ukraina.
Seorang diplomat Uni Eropa yang tidak disebutkan namanya mengungkapkan kekhawatiran bahwa AS mulai mengesampingkan sekutunya dalam strategi jangka panjangnya.
"Eropa telah berinvestasi besar dalam membantu Ukraina, baik secara ekonomi maupun militer. Jika AS mengambil pendekatan baru tanpa melibatkan kami, itu akan menjadi perubahan besar dalam dinamika aliansi Barat," ujarnya.
Ukraina dalam Posisi Sulit
Selain Uni Eropa, Ukraina sendiri tampaknya berada dalam posisi yang semakin sulit. Tanpa keterlibatan langsung dalam perundingan antara AS dan Rusia, pemerintahan Presiden Volodymyr Zelensky berisiko kehilangan kendali atas arah negosiasi yang menentukan nasib negaranya.
Sejak awal perang, Ukraina telah berupaya mendapatkan dukungan maksimal dari Barat, termasuk mengajukan keanggotaan Uni Eropa dan NATO. Namun, langkah AS yang membuka komunikasi dengan Rusia tanpa melibatkan Kyiv dapat mengindikasikan perubahan dalam prioritas Washington.
Salah satu penasihat Presiden Zelensky menyatakan keprihatinannya terhadap perundingan tersebut.
"Kami tidak bisa membiarkan masa depan Ukraina diputuskan tanpa kehadiran kami di meja perundingan," katanya kepada media Ukraina.
Ukraina telah berulang kali menyatakan bahwa setiap perjanjian damai harus mencakup penarikan penuh pasukan Rusia dari wilayah yang diduduki dan pengembalian kedaulatan penuh kepada Ukraina. Namun, dengan perundingan yang kini mulai bergeser ke arah dialog langsung antara AS dan Rusia, ada kekhawatiran bahwa kompromi tertentu dapat dibuat tanpa mempertimbangkan kepentingan utama Kyiv.
Trump-Putin Segera Bertemu?
Perundingan yang berlangsung di Arab Saudi ini disebut-sebut sebagai persiapan untuk pertemuan puncak antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam waktu dekat.
Setelah pembicaraan awal ini, penasihat kebijakan luar negeri Rusia, Yuri Ushakov, mengatakan bahwa meskipun belum ada tanggal resmi yang ditetapkan, pertemuan puncak kemungkinan akan berlangsung dalam beberapa bulan ke depan.
Lavrov pun menambahkan bahwa komunikasi tingkat tinggi ini dapat menjadi langkah awal dalam membangun kembali hubungan diplomatik yang lebih stabil antara Moskow dan Washington.
"Kami ingin memastikan bahwa hubungan Rusia-AS tidak lagi terperosok dalam ketegangan yang tidak perlu. Kami berharap ini adalah awal dari kerja sama yang lebih baik," ujar Lavrov.
Kesimpulan: Perubahan Arah Diplomasi AS?
Perundingan antara AS dan Rusia tanpa kehadiran Eropa dan Ukraina menimbulkan spekulasi bahwa Washington tengah menggeser pendekatan diplomatiknya. Jika selama ini AS dan sekutu Eropanya selalu kompak dalam menghadapi Rusia, pertemuan ini menandai potensi pergeseran strategi yang bisa berdampak besar pada peta geopolitik global.
Apakah ini langkah pragmatis untuk segera mengakhiri perang Ukraina, atau justru menjadi tanda melemahnya solidaritas Barat? Jawabannya mungkin akan terlihat dalam beberapa bulan ke depan, ketika perundingan lanjutan dan pertemuan puncak antara Trump dan Putin benar-benar terlaksana. (*)
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Imadudin Muhammad |