TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Akhir-akhir ini, media sosial diramaikan oleh tagar #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap. Dua ungkapan ini bukan sekadar tren, melainkan gambaran nyata dari rasa frustrasi generasi muda terhadap kondisi negeri ini.
Korupsi yang mengakar, kebijakan yang terasa jauh dari rakyat, serta ketidakpastian hukum dan ekonomi semakin menipiskan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Namun, di balik suara protes anak muda, ada keresahan lain yang tak kalah besar-kegelisahan para orang tua yang mengkhawatirkan masa depan pendidikan anak-anak mereka.
Sebagai orang tua, kami tak bisa begitu saja menyerah. Kami berjuang keras untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak, berharap mereka punya bekal cukup untuk menghadapi dunia.
Tapi saat melihat realitas yang ada, muncul pertanyaan yang mengusik: apakah pendidikan di Indonesia masih bisa menjamin masa depan mereka?
Apakah investasi yang kami curahkan-waktu, tenaga, dan biaya-akan berbuah manis, atau justru sia-sia karena ketidakpastian yang terus membayangi negeri ini?
Ketika Pemerintah Terlihat Lucu di Mata Orang Tua Wali Murid
Di tengah kegelisahan ini, kebijakan pemerintah justru kerap menghadirkan ironi yang sulit diterima akal sehat. Bukannya menjawab tantangan pendidikan dengan solusi konkret, yang muncul malah kebijakan yang terasa seperti lelucon.
Saat kami berharap ada pembenahan sistem yang lebih visioner, justru keputusan-keputusan yang tidak jelas urgensinya yang mengemuka.
Kami ingin pendidikan yang stabil dan relevan dengan kebutuhan zaman, tapi faktanya, kurikulum berubah lebih cepat daripada kesempatan untuk mengevaluasi efektivitasnya.
Setiap pergantian menteri membawa ‘wawasan baru’ tanpa mempertimbangkan kesiapan sekolah, tenaga pengajar, dan siswa.
Akibatnya, kebijakan yang seharusnya memberi arah justru menciptakan kebingungan massal, membebani guru, dan membuat anak-anak kesulitan mendapatkan pembelajaran yang berkualitas.
Di sisi lain, perhatian pemerintah sering kali justru tertuju pada hal-hal yang terasa tidak esensial. Warna seragam dan model sepatu lebih sering diperdebatkan ketimbang kualitas pendidikan.
Sementara itu, sekolah-sekolah di pelosok masih kekurangan tenaga pengajar, fasilitas seadanya, bahkan akses internet pun masih jadi barang mewah. Seolah-olah kebijakan pendidikan lebih menekankan tampilan luar daripada substansi yang seharusnya dibenahi.
Ironisnya, meskipun pemerintah bangga mengklaim besarnya anggaran pendidikan, di lapangan masih banyak sekolah nyaris roboh, guru honorer hidup dalam ketidakpastian finansial, dan sistem pembelajaran masih jauh dari kata ideal. Dana pendidikan terasa seperti ilusi—disebut ada, tapi sulit dirasakan manfaatnya.
Pendidikan: Pilar yang Terabaikan di Tengah Krisis
Di tengah gejolak sosial dan politik, pendidikan seolah tidak menjadi prioritas utama. Kurikulum berubah tanpa arah yang jelas, fasilitas sekolah masih jauh dari layak, dan biaya pendidikan terus membebani orang tua. Kesenjangan kualitas tenaga pengajar serta akses pendidikan yang tidak merata semakin memperburuk keadaan.
Lebih ironis lagi, lulusan perguruan tinggi yang seharusnya siap menghadapi dunia kerja justru kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Lapangan kerja yang semakin sempit dan ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan industri membuat anak-anak kami harus berjuang lebih keras sekadar untuk bertahan.
Jika generasi muda mulai berpikir untuk "kabur dulu" ke luar negeri demi masa depan yang lebih baik, bukankah ini sebuah tamparan bagi kita semua?
Membuka Jalan Harapan: Pendidikan yang Mencerahkan
Kami tidak ingin hanya mengeluh dan menyalahkan keadaan. Kami ingin pemerintah dan pemangku kebijakan memahami keresahan ini. Pendidikan seharusnya menjadi pondasi utama pembangunan bangsa, bukan sekadar formalitas yang terus dibiarkan tanpa perbaikan nyata.
Diperlukan kebijakan yang lebih berpihak pada peningkatan kualitas pendidikan, bukan sekadar mengganti kurikulum tanpa evaluasi mendalam. Kami ingin sekolah-sekolah memiliki fasilitas yang layak, tenaga pendidik yang kompeten, serta sistem pendidikan yang tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga membekali anak-anak kami dengan keterampilan yang relevan dengan masa depan mereka.
Kami ingin mereka memiliki harapan dan kebanggaan untuk berkembang di negeri sendiri, bukan terpaksa mencari peluang di luar negeri karena kondisi di dalam negeri yang tidak mendukung.
Kami yakin harapan masih ada. Tapi harapan saja tidak cukup tanpa tindakan nyata dari mereka yang memegang kendali kebijakan.
Jika tagar #IndonesiaGelap terus bergema, lalu siapa yang akan menyalakan cahaya bagi masa depan bangsa ini? Kami, para orang tua, tidak ingin anak-anak kami hidup dalam ketidakpastian.
Kami ingin mereka tumbuh di negeri yang memberikan harapan nyata, bukan sekadar janji manis tanpa realisasi.
Sudah saatnya pendidikan benar-benar dijadikan prioritas utama, bukan hanya sekadar wacana politik. (*)
***
*) Oleh : Rintan Nuzul Ainy, Dosen Akuntansi FEB Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |