TIMES MALANG, MALANG – Resepsi puncak rangkaian peringatan Hari Jadi ke-1263 Kabupaten Malang dilangsungkan di pelataran Pendopo Panji Kantor Bupati Malang di Kepanjen, Selasa (28/11/2023) malam.
Di acara resepsi yang juga dirangkai pagelaran wayang kulit ini, Bupati Malang, HM Sanusi dan jajarannya, serta seluruh undangan yang hadir mengenakan batik khas Malang, bermotif Garudya.
Dalam kesempatan ini, Bupati Malang juga menyerahkan piagam penghargaan atas sertifikat Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai gak paten atas motif batik Garudya, kepada Ketua TP PKK Kabupaten Malang, Hj Anis Zaidah.
Pada saat bersamaan, Anis Zaidah juga menyerahkan buku tentang batik Garudya, juga cap paten batik Garudeya, kepada ketua pengrajin batik Garudya, untuk digunakan bersama-sama dalam memproduksi kain batik motif kebanggaan Kabupaten Malang ini.
Untuk diketahui, batik Garudya, kini menjadi kreasi motif batik khas Kabupaten Malang, yang terinspirasi oleh kebesaran era Kerajaan Singhasari. Motif awal batik diambil dari relief Garudya yang ada di Candi Kidal Tumpang.
Kain batik motif Garudya, saat dilaunching oleh Bupati Malang, dan Ketua DPRD Kabupaten Malang, belum lama ini. (FOTO: amin)
Kain batik cap 'Garudya' ini sendiri, sempat dikenalkan dan diproduksi terbatas, melalui galeri Dewan Kerajinan Nasional (Dekranasda) Kabupaten Malang.
Ketua Forum Komunikasi Pelaku Usaha Kabupaten Malang, yang juga menjadi bagian Dekranasda Kabupaten Malang, Endang Tri Puji Astuti mengungkapkan, proses melahirkan paten kreasi motif motif Garudya memakan waktu hampir dua tahun.
Menurutnya, proses yang dilakukan diantaranya melibatkan akademisi, dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang. Yakni, untuk penggalian literasi peninggalan sejarah budaya yang berhubungan dengan relief Garudya di Candi Kidal.
Penelitian dan kajian literasi Garudya ini juga difasilitasi Balitbang Kabupaten Malang, selama satu bulan. Menurutnya, tim juga melibatkan pengrajin batik lokal asal Tumpang yang sebelumnya sudah pernah membuat kerajinan batik serupa.
"Tim litbang bekerja sebulan penuh, bahkan sampai malam-malam, menggali dan mempertajam terkait motif Garudya. Beberapa kali juga dilakukan FGD," terang Puji Astuti, dikonfirmasi, belum lama ini.
Selain bentuk detil gambar, motif batik Garudya juga digali terkait bagaimana sulur, isian hingga pewarnaannya, yang disesuaikan detil relief yang ada di Candi Kidal Tumpang.
Dikatakan Astuti, selain menjadi karya kebanggaan khas Kabupaten Malang, produksi batik Garudeya ini nantinya diharapkan bisa menaikkan nilai dan kesejahteraan para pengrajin batik lokal yang ada.
Menurutnya, ada 200 lebih pengrajin batik. Ke depan, produksi kain batik Garudya ini diharapkan jadi seragam batik resmi di Kabupaten Malang.
Rencananya, bisa menjadi seragam batik bagi 18 ribu ASN se Kabupaten Malang. Termasuk, untuk seragam para pelajar di sekolah-sekolah. Selain jadi seragam resmi, motif batik Garudeya juga akan dibuat dalam berbagai bentuk cindera mata.
Nilai Historis Garudya
Relief Garudya juga punya nilai historis dan cerita legenda tersendiri. Juru pelihara Candi Kidal saat ditemui TIMES Indonesia belum lama ini, mengkisahkan asal mula relief Garudya.
Dikisahkan, tiga relief Garudya yang mengelilingi Candi Kidal, ternyata punya tiga fase yang menjadi inspirasi Bung Karno dalam menjadikan burung Garuda sebagai lambang negara Indonesia.
Pertama adalah fase perbudakan, yang mengisahkan bahwa ayah dari Garudya mempunyai dua istri, yakni Dewi Winata dan Dewi Kadru yang masing-masing mempunyai anak. Garudya adalah anak dari Dewi Winata.
Dalam kisah tersebut, Dewi Kadru berusaha menyingkirkan Dewi Winata melalui pertarungan. Dewi Kadru berhasil menang dan Dewi Winata dijadikan budak olehnya.
Kedua, adalah fase penebusan. Garudya yang sangat sayang kepada ibunya bersusah payah membebaskan ibunya dengan melawan naga. Akan tetapi, perlawanan yang tak kunjung usai tersebut membuat sang naga menyanggupi Garudya, untuk membebaskan ibunya, dengan syarat Garudya harus membawakan air suci Amerta yang disepakatinya.
Tak sampai di situ, Garudya di tengah pencarian air Amerta tersebut sempat bertemu dengan dewa Wisnu yang bersedia membantu Garudya untuk mencari air suci Amerta, dengan syarat Garudya mau menjadi tunggangannya.
Terakhir, fase lepasnya dari perbudakan setelah mendapatkan air suci Amerta tersebut, yang akhirnya diberikan pada sang naga. Dengan segala perjuangan Garudya ini, akhirnya sang ibu pun dapat terbebas.
Kisah tersebut terbentuk dalam relief-relief Garudya yang berada di setiap sisi Candi Kidal. Dan, Garudya banyak dikenal kalangan masyarakat Jawa, yang bermakna perjuangan dan perjalanan Garudya dalam membebaskan ibunya dari penderitaan perbudakan, dengan penebusan air suci Amerta.
Makna kegigihan sang Garudya dalam membebaskan ibunya ini pula yang menginspirasi Bung Karno, yang menganggap punya kesamaan dengan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah dengan susah payah untuk merebut kemerdekaan. (*)
Pewarta | : Khoirul Amin |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |