https://malang.times.co.id/
Opini

Keadilan Substantif dalam Sistem Peradilan

Jumat, 31 Januari 2025 - 16:35
Keadilan Substantif dalam Sistem Peradilan Muhammad Jundi Fathi Rizky, Mahasiswa Aktif Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah dan Peneliti di Distrik HTN Institute.

TIMES MALANG, JAKARTA – Sebagaimana yang telah kita ketahui, sistem peradilan adalah mekanisme terakhir untuk menjamin ketertiban masyarakat. Sistem peradilan berfungsi sebagai instrumen fundamental dalam proses penegakan hukum.

Tidak hanya mengungkap fakta di permukaan, tetapi juga mencari kebenaran materil melalui proses yang sesuai dengan undang-undang. Tujuannya adalah menghasilkan putusan yang adil, berdampak positif, dan dapat diterima oleh semua pihak.

Secara teori, setiap putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan melalui hakim mencerminkan keadilan yang sesungguhnya. Hal ini ditegaskan melalui kalimat "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" yang wajib tercantum dalam setiap putusan pengadilan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf a dan ayat (2) KUHAP. Kalimat ini mengandung makna bahwa hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum dan masyarakat, tetapi juga kepada Tuhan, sehingga putusannya harus benar-benar objektif.

Dalam praktiknya, Banyak putusan pengadilan yang masih belum memenuhi harapan masyarakat akan rasa keadilan. Praktik korupsi, terutama suap, tetap menjadi masalah serius dalam sistem peradilan Indonesia. Masalah ini tidak hanya terjadi di pengadilan, tetapi juga melibatkan institusi lain seperti kejaksaan dan kepolisian. 

Hal ini didukung oleh penelitian ICW (2011), yang mengungkap adanya praktik suap untuk memengaruhi proses persidangan, termasuk dalam penentuan majelis hakim dan hasil putusan. Kasus suap di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, menjadi bukti nyata. 

Kasus tersebut melibatkan pembebasan terdakwa Gregorius Ronald Tannur dalam perkara pembunuhan Dini Sera Afrianti. Kasus ini sangat memprihatinkan karena melibatkan sejumlah pejabat lembaga peradilan, yaitu tiga majelis hakim dan satu ketua pengadilan negeri.

Kasus-kasus seperti ini berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pengadilan. Misalnya, dalam putusan vonis pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) terkait kerugian negara sebesar 300 triliun, terdakwa hanya dihukum penjara 6,5 tahun. 

Hal ini menuai kecaman publik karena dianggap tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Masyarakat pun mulai berspekulasi, meskipun sebenarnya hakim dalam memutuskan perkara mempertimbangkan berbagai aspek, seperti kualitas dakwaan jaksa sebagai penuntut, relevansi tuntutan, serta kelengkapan saksi dan alat bukti.

Hal ini menjadi perhatian besar bahwa ternyata setiap keputusan yang dihasilkan oleh pengadilan tidak selalu memuaskan, dan keterbatasan publik dalam menilai proses peradilan membuat ruang spekulasi baru. 

Oleh karena itu, kinerja dari lembaga peradilan harus terus diawasi agar setiap putusannya objektif dan mampu menjawab persoalan dengan keadilan yang substantif. Salah satu bentuk pengawasan putusan yang dapat dilakukan adalah eksaminasi. 

Eksaminasi atau anotasi hukum merupakan proses pemberian catatan hukum terhadap putusan pengadilan atau dakwaan jaksa untuk memastikan bahwa putusan tersebut sesuai dengan prinsip hukum dan mencerminkan keadilan. Hal ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 1967.

Namun, pelaksanaan eksaminasi menghadapi kendala serius, terutama karena pembatasan jumlah perkara yang dapat dieksaminasi. Berdasarkan SEMA No. 1 Tahun 1967, hanya 3 perkara pidana dan 3 perkara perdata yang perlu dieksaminasi  dan  hakim yang bersangkutan memiliki kebebasan untuk memilih perkara yang akan dieksaminasi. 

Hal ini tentu berpotensi menciptakan celah dalam pengawasan kualitas putusan. Selain itu, sifat tertutup dari hasil eksaminasi yang tidak akuntabel semakin memperburuk situasi. Akibatnya, efektivitas eksaminasi dalam menjamin keadilan yang sebenarnya menjadi berkurang.

Untuk itu dalam menguatkan kepercayaan lembaga peradilan sebagai tempat hadirnya keadilan, perlu ada dorongan keterlibatan publik. Keterlibatan publik ini sesuai dengan asas demokratisasi. 

Demokratisasi di lembaga peradilan dapat diwujudkan melalui peningkatan partisipasi publik dan transparansi proses peradilan. Keterlibatan masyarakat sebagai katalisator berperan penting dalam menjaga integritas lembaga peradilan, memastikan putusan yang dihasilkan objektif, serta mencegah praktik korupsi. 

Transparansi yang luas dengan kemudahan mengakses seluruh dokumen, mulai dari proses dakwaan, eksepsi, putusan sela, hingga putusan akhir, memungkinkan publik menilai kualitas kinerja institusi pada lembaga peradilan. 

Dengan begitu, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dapat meningkat, sekaligus mempersempit ruang bagi kecurigaan adanya judicial corruption.kar Langkah ini mendorong terciptanya akuntabilitas sistem peradilan yang lebih adil dan demokratis.

Pada tahap eksaminasi pun perlu dilakukan hal serupa. Meskipun eksaminasi bukanlah upaya hukum yang dapat ditempuh, eksaminasi memungkinkan masyarakat untuk mengevaluasi kualitas putusan pengadilan serta integritas proses peradilan. 

Oleh karena itu, lembaga eksaminasi harus memperkuat perannya dengan menetapkan regulasi yang menjamin efektivitas eksaminasi sebagai bagian dari sistem peradilan. 

Salah satu langkah penting adalah memberikan kewenangan kepada tim eksaminasi untuk secara mandiri memilih putusan yang akan dievaluasi, sehingga menghindari potensi intervensi dari hakim terkait dalam penilaian kualitas putusan. 

Selain itu, untuk memastikan eksaminasi berjalan efektif, perlu diterapkan transparansi dalam menyampaikan hasil proses eksaminasi kepada publik. 

Dengan demikian, masyarakat dapat menilai secara langsung, dan pada akhirnya eksaminasi dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan akuntabilitas serta kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

***

*) Oleh : Muhammad Jundi Fathi Rizky, Mahasiswa Aktif Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah dan Peneliti di Distrik HTN Institute.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.