TIMES MALANG, MALANG – Mengolah sampah organik menjadi berkah. Semboyan itu terus digaungkan para relawan Eco Enzyme Nusantara terus digaungkan oleh para relawan di kampung-kampung, termasuk di Kota Malang.
Setidaknya 20-an ibu-ibu dan sejumlah bapak di RT 3 RW 5 Kelurahan Rampal Celaket, Klojen, Kota Malang pada Minggu (29/8/2024) pagi mengikuti pelatihan pembuatan Eco Enzyme.
Tiga orang relawan, Angelina Rosmawati SSi, MSi bersama Kusmini dan Diah menjadi tutor didampingi pemerhati pertanian H Ir Achmad Winarto.
Angelina Rosmawati sendiri adalah dosen praktisi pada mata kuliah Rekayasa Bahan Alam untuk Program Magister dan mata kuliah Kimia Koloid untuk Program Sarjana Kimia Universitas Brawijaya. Ia juga dosen tamu untuk materi GLP (Good Laboratory Practise) FMIPA Univ Bakti Indonesia.
Sedangkan Kusmini dan Diah adalah relawan Eco Enzyme Nusantara yang telah malang melintang menjadi tutor Eco Enzym.
"Saat ini bumi kita rusak. Siapa yang merusak? Ya kita-kita sendiri. Lalu bagaimana harus memperbaikinya? Ya dari kita sendiri. Kita hanya mempunyai waktu 12 tahun untuk mencegah malapetaka pemanasan global," ujar Kusmini mengutip PBB.
Apalagi persentase timbunan sampah di TPA se-Indonesia menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada tahun 2019 mencapai 67,8 juta ton, dan 57 persen di antaranya adalah sampah organik.
"Kalau kita tidak memulai memperbaikinya sekarang, bagaimana dengan anak cucu kita besok. Karena itu mari kita perbaiki mulai dari dapur kita sendiri. Mengapa dari dapur? Karena dari dapurlah ada sampah organik. Sampah yang kalau dibiarkan menumpuk bisa membuat lingkungan menjadi bau," sambung Kusmini.
Kusmini kemudian mencontohkan tentang sisa sayuran yang tidak ikut dimasak dan kulit buah-buahan. Dalam skala besar di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) misalnya, tumpukan sampah organik juga bisa menghasilkan gas metana yang bisa menimbulkan ledakan.
"Masih ingat tragedi ledakan yang terjadi di TPA Leuwigajah Bandung pada 2005 yang menghilangkan sekitar 157 nyawa, 2 desa, 137 rumah, dan sekitar 8,4 hektare lahan pertanian. Itu adalah karena sampah organik yang bisa menciptakan gas metana yang bisa meledak," ujar Kusmini.
Suasana pembuatan Eco Enzyme, ibu-ibu tampak sibuk memasukkan samp organik ke dalam tabung.(FOTO: Widodo Irianto/TIMES Indonesia).
Sampah organik juga merupakan salah satu penyebab Global warning. Maka dengan membuat Eco Enzyme selain mengurangi limbah sampah organik juga mengurangi global warning.
Eco Enzyme adalah cairan alami multi fungsi yang berasal dari hasil fermentasi gula merah atau molase, sisa sayuran atau buah segar dan air dengan perbandingan 1:3:10
Kusmini dan tim kemudian memberikan pelatihan kepada sekitar 20-an ibu dan sebagian kecil bapak-bapak untuk membuat Eco Enzyme. Cairan Eco Enzyme ini bisa dibuat dari kulit buah dan sisa sayuran apa saja yang masih segar. "Kalau sudah busuk tidak bisa," kata Kusmini.
Kulit buah yang dimaksudkan adalah yang tidak keras, tidak berlemak dan tidak dimasak. Kulit buah dan sisa sayuran itu kemudian dicampur dengan gula merah dan air.
Kalau gula merahnya 1 kg, maka kulit buah dan sayuran 3 kg dan airnya 10 liter.
Bahan-bahan itu kemudian dimasukkan ke dalam wadah. "Wadahnya boleh apa saja. Bisa galon, tempat cat tembok, pokoknya jangan yang berbahan gelas," kata Kusmini.
Setelah semuanya masuk ke dalam wadah, tutup agak rapat. Eco Enzyme ini akan bisa 'dipanen' tiga bulan dari tanggal pembuatannya.
Bulan pertama, menurut Angelina akan menghasilkan alkohol karena proses fermentasi tadi. Karena itu pada awal pembuatan sampai satu bulan, tutupnya jangan sangat dirapati, tapi tambahlah dengan tutup dari kantong plastik kemudian diikat karet.
"Ini untuk apa? Agar ketika proses fermentasi di bulan pertama yang menghasilkan alkohol itu masih bisa menguap dan gasnya bisa tertampung di dalam kantong plastik.Nah setelah satu bulan, ambillah kantong plastiknya yang mengembung oleh gas alkohol tadi," ujarnya.
Kemudian putar tutup galon dengan sangat rapat dan biarkan sampai terhitung tiga bulan. Selama itu galon jangan digerak-gerakkan. Eco Enzyme ini bisa dibuat dengan durasi waktu tiga bulan kalau di wilayah trophys. Namun kalau di wilayah sub-trophys bisa sampai enam bulan.
Hasil akhir warna Eco Enzyme adalah kecoklatan dengan aroma asam-asam segar. Hasil warna Eco Enzyme bisa bervariasi dari coklat muda hingga coklat tua, bergantung pada jenis sisa buah atau sayuran dan jenis gula yang digunakan.
Formula Eco Enzyme kali pertama ditemukan oleh Dr Rosukon Poompanvong (pendiri asosiasi pertanian organik Thailand) dari hasil penelitian yang dilakukannya sejak tahun 1980. Hasil karyanya selama seperempat abad ini telah berhasil menumbuhkan dan memasarkan produk pertanian berkualitas tinggi tanpa mengguunakan pupuk buatan .
Hasil karyanya itu terakhir terbukti menguntungkan secara finansial dan yang terpenting tanpa mengorbankan lingkungan.
Angelina Rosmawati menulis, bahwa manfaat dari Eco Enzyme ini bisa untuk mencuci buah dan sayur, membersihkan pestisida, kuman, maupun logam berat pada sayur dan buah.
"Selain itu juga bisa untuk perawatan diri. Bisa jadi pengganti pasta gigi, campuran sampho dan sabun mandi, kumur antiseptik, perawatan kulit wajah, sabun cuci muka, hand sanitizer, optimalisasi and kebersihan tubuh, mengembalikan kesehatan rambut," kata Angelina.
Angelina Rosmawati juga menambahkan, manfaat lainnya adalah untuk kesehatan yakni sebagai detoks diri. Merendam kaki untuk memperlancar darah, merangsang titik saraf dan titik refleksi pada telapak kaki, membantu proses penyembuhan penyakit serta meningkatkan kualitas tidur dan menghilangkan insomnia.
"Juga untuk meningkatkan kualitas udara, air dan tanah. Kalau disemprotkan ke udara, Eco Enzyme ini bisa mengikat radikal bebas. Di rumah lebih banyak saya gunakan untuk membersihkan kamar mandi, tempat cuci piring, ngepel dan menghilangkan bau di tempat-tempat tertentu di rumah," katanya. (*)
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Ronny Wicaksono |