TIMES MALANG, JAKARTA – Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengungkap kekhawatirannya terkait tuntutan untuk memberikan status legalitas kepada pekerja ojek online (ojol).
Menurutnya, upaya untuk mengesahkan status pekerja formal bagi driver ojol dapat membawa dampak negatif, termasuk mengurangi fleksibilitas yang selama ini menjadi keunggulan pekerjaan yang tidak tetap (gig) tersebut.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta pada Jumat (30/8/2024), Nailul menjelaskan bahwa meski tuntutan ini bertujuan memberikan hak-hak pekerja yang lebih baik, mengubah status ojol menjadi pekerja formal bisa mengakibatkan hilangnya fleksibilitas dalam jam kerja.
Menurutnya, jika ojol menjadi pekerja dengan status formal, bentuk kontraknya akan berbeda dari pekerjaan gig, yang dapat membatasi fleksibilitas kerja mereka. "Saya paham tuntutan mereka juga akan mengarah kepada status pekerja bagi driver ojek online, di mana bisa mendapatkan hak yang mereka tuntut. Namun, lagi-lagi masalahnya adalah ketika statusnya pekerja maka bentuk kontraknya bukan sebagai pekerja gig lagi. Mereka dapat kehilangan fleksibilitas pekerjaan dan sebagainya," ujar Nailul.
Lebih jauh, Nailul menambahkan bahwa formalisasi status pekerjaan juga berpotensi menjebak pengemudi ojol dalam posisi pekerjaan dengan kualitas rendah tanpa adanya perjanjian untuk peningkatan keterampilan. Menurutnya, isu utama bukanlah status angkutan umum, melainkan bagaimana fleksibilitas dan kualitas pekerjaan dipertahankan.
Untuk diketahui, sebenarnya isu legalisasi ojol sudah menjadi perdebatan sejak 2023 ketika Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengusulkan draf Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) tentang ojek online. Pengemudi ojol sebagian besar menolak pembatasan jam kerja maksimal 12 jam, menganggap hal tersebut akan mengurangi fleksibilitas kerja mereka.
Ketua Umum Gograber Indonesia, Ferry Budhi, mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pembatasan jam kerja saat aksi demo di depan Gedung Kemenaker di Jakarta, dengan menegaskan bahwa pembatasan tersebut akan merugikan mereka.
Di sisi lain, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyetujui ide untuk mengatur status ojol dan kesejahteraan pengemudi dalam sebuah Undang-Undang. Menurut Budi, perlindungan hukum dan ketentuan kesejahteraan pengemudi ojol penting untuk menjaga keberlanjutan dan kualitas transportasi umum serta konektivitas masyarakat.
Saat ini, UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan belum mencakup penggunaan kendaraan roda dua untuk transportasi umum, yang saat ini diatur hanya melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019.(*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Soal Regulasi dan Legalitas Pekerja Ojol, CELIOS: Pilihan Antara Fleksibilitas versus Status Formal
Pewarta | : Antara |
Editor | : Faizal R Arief |