TIMES MALANG, JAKARTA – Momen bulan Ramadan tak sekadar beribadah, namun banyak tradisi yang menyertainya. Salah satu tradisi saat Ramadan adalah takjil.
Takjil adalah makanan pembuka sebelum makanan berat saat berbuka puasa. Biasanya takjil merupakan makanan ringan yang praktis dikonsumsi sebelum salat magrib. Hal itu mengacu pada hadis Nabi SAW, untuk menyegerakan berbuka puasa.
لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Artinya: "Manusia selalu dalam keadaan baik selama mereka segera berbuka (bila waktunya telah tiba)." (HR Bukhari)
Riwayat lain menyebutkan, saat berpuasa hendaknya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.
Aisyah berkata, "Siapa di antara mereka berdua yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur?" Aku menjawab, "Abdullah bin Mas'ud." Ia berkata, "Seperti itulah yang dahulu dikerjakan oleh Rasulullah." (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa'i, & Ibnu Majah).
Dalam KBBI takjil sendiri terdapat dua makna, yaitu kata kerja dan kata benda. Untuk kata kerja, takjil berarti makanan. Sedangkan kata benda berarti sajian berbuka puasa.
Takjil berasal dari bahasa Arab ajjalu, yang artinya menyegerakan. Kata ajjalu berasal dari hadis Nabi Muhammad SAW dalam Riwayat Bukhari Muslim yang berbunyi "Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan (Ajjalu) berbuka".
Dalam praktiknya, di Indonesia ajjalu mengalami pergeseran kata, menjadi ajala yu'ajjilu ta'jilan.
Beberapa sumber menyebutkan istilah tersebut disampaikan oleh penyiar agama Islam sejak abad ke-15 di Jawa. Dikutip dari muhammadiyah.or.id, takjilan dikenalkan oleh Wali Songo sebagai sebagai strategi dakwah.
Dikutip dari buku Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan karya Abdul Munir Mulkhan, Muhammadiyah punya peran besar dalam mempopulerkan takjil. Meski awalnya banyak ditentang dan sempat disebut bid'ah, namun tradisi tersebut terus diikuti oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Tradisi takjilan makin ramai saat Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta menyediakan 1.200 sampai 1.400 porsi takjil setiap hari. Bahkan Sultan Hamengkubuwono VIII selalu memberikan takjil gulai kambing setiap Kamis sore.
Tradisi takjilan itu terus dilestarikan oleh Muhammadiyah di Yogyakarta dan beberapa daerah lainnya. Hingga kini takjilan sudah menjadi tradisi di Nusantara.
Sumber lain berdasar laporan De Atjehers yang ditulis Snouck Hurgronje, tradisi takjil ada di Aceh sejal awal abad ke- 19. Warga Aceh biasa menyantap bubur pedas atau yang disebut ie bu peudah. Menu itu selalu tersedia di masjid-masjid setiap Ramadan. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Tradisi Takjil, Strategi Dakwah Islam Sejak Abad ke- 15
Pewarta | : Dhina Chahyanti |
Editor | : Dhina Chahyanti |