https://malang.times.co.id/
Opini

Teror terhadap Orang Kritis

Rabu, 31 Desember 2025 - 21:32
Teror terhadap Orang Kritis Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

TIMES MALANG, MALANG – Dalam demokrasi yang sehat, orang kritis seharusnya dipelihara, bukan diteror. Kritik adalah oksigen bagi kehidupan publik; tanpa kritik, kekuasaan akan bernapas sendiri, sesak oleh pujian dan mabuk oleh legitimasi semu. Namun, dalam praktik politik dan sosial kita hari ini, kritik justru kerap diperlakukan sebagai ancaman. 

Mereka yang bersuara lantang, bertanya tajam, dan menolak tunduk pada arus mayoritas sering kali berhadapan dengan intimidasi, stigmatisasi, bahkan teror baik yang kasatmata maupun yang dibungkus dengan bahasa “hukum” dan “moralitas”.

Teror terhadap orang kritis tidak selalu datang dalam bentuk kekerasan fisik. Ia lebih sering hadir sebagai pesan singkat bernada ancaman, pelaporan beruntun ke aparat, pembunuhan karakter di media sosial, hingga tekanan administratif yang rapi dan berlapis. 

Cara-caranya halus, tetapi dampaknya nyata: membungkam, melelahkan, dan menakut-nakuti. Inilah teror gaya baru, yang bekerja bukan dengan pentungan, melainkan dengan rasa cemas yang ditanamkan perlahan.

Fenomena ini menandakan satu hal penting: kritik belum sepenuhnya diterima sebagai bagian wajar dari demokrasi. Di banyak ruang kekuasaan, kritik masih dipersepsikan sebagai serangan personal, bukan sebagai koreksi publik. 

Mereka yang mengkritik kebijakan dicurigai memiliki agenda tersembunyi; yang menyuarakan ketidakadilan dicap provokator; yang mengungkap masalah dilabeli pembuat gaduh. Nalar publik dikalahkan oleh logika kekuasaan: siapa pun yang tidak sejalan dianggap lawan.

Yang lebih mengkhawatirkan, teror terhadap orang kritis sering kali dilegitimasi dengan dalih ketertiban, stabilitas, atau bahkan persatuan. Kritik dipersempit maknanya, seolah hanya boleh disampaikan dengan nada sopan yang tidak mengganggu kenyamanan penguasa. Padahal, sejarah membuktikan bahwa perubahan besar justru lahir dari suara-suara yang tidak nyaman, yang berani melawan arus dan menolak diam.

Dalam konteks ini, teror bukan hanya ditujukan pada individu, tetapi juga pada iklim berpikir kolektif. Ketika satu orang diteror karena bersuara, yang lain akan belajar untuk diam. Ketika satu kritik dibalas dengan intimidasi, seribu kritik lain akan mengendap di kepala tanpa pernah keluar menjadi kata. Masyarakat perlahan didorong menuju budaya takut, di mana keselamatan pribadi lebih penting daripada kejujuran publik.

Ironisnya, teror terhadap orang kritis sering terjadi justru di ruang-ruang yang mengklaim diri demokratis: kampus, media, organisasi masyarakat, bahkan lembaga negara. Di kampus, kritik mahasiswa dibalas dengan ancaman akademik. Di media, jurnalis kritis ditekan dengan somasi atau pembatasan akses. Di ruang digital, buzzer dan algoritma bekerja bersama untuk membanjiri kritik dengan kebisingan, ejekan, dan fitnah. Demokrasi tetap berdiri sebagai slogan, tetapi isinya dikosongkan.

Jika dibiarkan, situasi ini akan melahirkan generasi yang alergi pada kritik dan miskin keberanian moral. Orang-orang pintar memilih aman, intelektual memilih netral, dan warga memilih diam. Padahal, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang bebas dari kritik, melainkan bangsa yang mampu mengelola kritik tanpa merasa terancam. Kekuasaan yang matang tidak takut dikritik, karena ia sadar bahwa kritik adalah cermin, bukan pisau.

Teror terhadap orang kritis juga menunjukkan ketimpangan relasi kuasa. Mereka yang memiliki akses pada hukum, aparat, dan opini publik bisa dengan mudah menekan yang lemah. Kritik lalu berubah menjadi risiko personal: kehilangan pekerjaan, dikucilkan secara sosial, atau diseret ke proses hukum yang melelahkan. Dalam kondisi seperti ini, keberanian menjadi mahal, dan kejujuran menjadi barang langka.

Karena itu, melawan teror terhadap orang kritis bukan sekadar membela individu, tetapi menjaga masa depan demokrasi. Negara harus hadir melindungi kebebasan berpendapat, bukan justru menjadi instrumen pembungkaman. 

Aparat penegak hukum harus tegas membedakan kritik dari ujaran kebencian, serta berhenti menjadi alat kekuasaan. Masyarakat sipil perlu memperkuat solidaritas, karena keberanian individu hanya akan bertahan jika ditopang oleh dukungan kolektif.

Lebih dari itu, kita perlu mengubah cara pandang terhadap kritik. Kritik bukan tanda kebencian, melainkan bentuk kepedulian. Orang yang diam terhadap kesalahan justru lebih berbahaya daripada mereka yang berani bersuara. Teror terhadap orang kritis adalah pertanda bahwa ada sesuatu yang ingin disembunyikan, bahwa kekuasaan sedang rapuh dan takut kehilangan kendali.

Pilihan kita sederhana namun menentukan: merawat kritik atau membiarkan teror tumbuh. Jika kritik terus ditekan, yang tersisa hanyalah kesunyian palsu tenang di permukaan, tetapi busuk di dalam. Dan ketika kesunyian itu pecah, biasanya sudah terlambat. Demokrasi tidak mati karena terlalu banyak kritik, tetapi karena terlalu sedikit keberanian untuk bersuara.

 

***

*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.