https://malang.times.co.id/
Opini

Sarjana Mencari Kerja

Rabu, 31 Desember 2025 - 22:00
Sarjana Mencari Kerja Mahsun Arifandy, Pengurus Ikatan Mahasiswa Raas.

TIMES MALANG, MALANG – Di tanah air ini, sarjana kini ibarat tiket tanpa nomor kursi: berjuta orang memilikinya, tetapi tempat duduknya tidak menunggu. Setiap pagi, ribuan lulusan perguruan tinggi berlomba membuka layar ponsel, men-scroll laman pencarian kerja, menunggu pengumuman hasil seleksi, mengirim berkas lewat portal yang sering kali tak responsif. Fenomena ini bukan sekadar statistik angka pengangguran, melainkan gambaran retaknya tawaran masa depan yang dijanjikan oleh gelar akademik.

Lulusan sarjana tumbuh layaknya jamur usai hujan. Jumlahnya semakin hari semakin banyak sementara kebutuhan pasar kerja tidak selaras dengan kesuburan angka tersebut. Di kampus, mahasiswa belajar teori-teori besar, menghafal pustaka panjang, dan bergelut dengan tugas akhir yang sarat istilah akademik. Namun ketika kelulusan merobek segel toga dan melempar alumni ke dunia nyata, banyak yang tersadar: gelar sarjana ternyata bukan jaminan, melainkan awal dari pertanyaan panjang “Bagaimana caraku hidup?”

Fenomena lulusan berebut informasi lowongan kerja memunculkan paradoks yang menyakar: pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan, kini semakin sering menjadi sumber kecemasan. 

Mahasiswa dulu diajari untuk berpikir kritis, tetapi lulusan setelah itu justru bergantung pada situs pencari kerja dan notifikasi lowongan terbaru seperti pejuang yang menunggu komando. Mereka tidak lagi sekadar belajar untuk memahami dunia, tetapi belajar untuk mencari celah agar dunia mau menerima mereka.

Ribuan gelar sarjana yang setiap tahun beredar di pasar kerja ibarat koin yang bertebaran tanpa pemilik yang jelas. Hal ini menciptakan persaingan yang tajam, tetapi bukan kompetisi sehat yang melahirkan kualitas. 

Persaingan ini justru memicu kecemasan, friksi sosial, dan rasa rendah diri. Ketika satu lowongan diikuti oleh ratusan atau ribuan pelamar, itu bukan tanda peluang, melainkan alarm bahwa struktur pekerjaan yang tersedia tidak mampu menampung potensi yang terus bertambah.

Kondisi ini memperlihatkan ketidakseimbangan antara sistem pendidikan dan kebutuhan dunia kerja. Kurikulum kampus seringkali berjalan lebih cepat daripada perubahan kebutuhan pasar. Mahasiswa dipersiapkan sebagai pakar teori, sementara industri mencari keterampilan praktis yang spesifik. Ketika batas antara teori dan praktik melebar, lulusan terdampar di antara dua dunia: ruang akademik yang megah dan realitas industri yang keras.

Tak sedikit dari mereka yang akhirnya mengambil pekerjaan di luar bidang keilmuannya bukan karena tidak kompeten, tetapi karena pilihan yang layak sangat terbatas. Seorang sarjana lingkungan bekerja sebagai admin media sosial, sarjana sastra menjadi pramuniaga ritel, sarjana ekonomi menjadi driver ojek online. Transisi ini bukan sekadar soal pragmatisme, tetapi tanda bahwa gelar akademik belum mampu menjamin relevansi langsung dalam dunia kerja.

Namun persoalan ini lebih dalam dari sekadar mismatch antara kompetensi dan lowongan. Ia juga mencerminkan ketidaksiapan sistem pendidikan kita menyiapkan manusia yang adaptif, kreatif, dan resilient. 

Lulusan sarjana dibentuk untuk menghadapi ujian akademik, tetapi kurang dibekali memetakan peluang, mengolah jejaring sosial, atau membangun usaha sendiri. Gelar sarjana sering menjadi simbol prestise, tetapi sayangnya seringkali kurang menjadi alat akselerasi kehidupan ekonomi.

Fenomena ramai-ramai mencari info lowongan juga memunculkan pola ketergantungan pada platform digital pencarian kerja. Situs pencari kerja, aplikasi rekrutmen, grup pesan semua menjadi ruang transit bagi harapan-harapan yang rapuh. 

Di sana, lulusan berdiri di garis start yang sama, menunggu kata “diterima” seperti penantian doa di ujung malam. Namun ketika jawaban yang datang hanya serangkaian penolakan dan “kami menerima lamaran Anda”, ruang harapan itu kian menyempit.

Di titik ini, tantangan bukan hanya tentang jumlah lowongan yang kurang, tetapi soal bagaimana masyarakat memaknai gelar sarjana itu sendiri. Gelar tidak lagi sekadar simbol intelektual, tetapi itu harus menjadi modal sosial-ekonomi yang nyata. Pendidikan tinggi idealnya mampu memperkaya wacana kritis sekaligus kemampuan praktis, bukan memproduksi lulusan yang kreatif di ruang baca tetapi kehilangan arah di pasar kerja.

Solusi atas fenomena ini tentu tidak sederhana. Pemerintah, dunia pendidikan, dan sektor industri harus duduk bersama merumuskan sinergi baru: kurikulum yang responsif terhadap kebutuhan masa depan; kebijakan ketenagakerjaan yang mengakui keterampilan nonformal; investasi dalam sektor-sektor produktif yang mampu menyerap tenaga kerja berkualitas; serta ruang bagi lulusan untuk berinovasi bukan hanya berkompetisi.

Yang tidak kalah penting adalah perubahan perspektif di kalangan lulusan itu sendiri. Menjadi sarjana bukan berarti menunggu pekerjaan, tetapi menjadi pelaku perubahan. Pendidikan harus merevolusi orientasinya: dari sekadar menghasilkan pencari kerja menjadi pembentuk wirausaha, inovator sosial, pemikir kritis yang tidak mudah menyerah pada kebekuan angka statistik.

Ketika kampus berhasil menanamkan semangat kewirausahaan, kecerdasan emosional, dan pemahaman kontekstual terhadap perubahan zaman, lulusan tidak lagi melompat-lompat mengincar lowongan yang langka. Mereka menciptakan peluang di tengah keterbatasan—menjadi penenun pasar kerja versi mereka sendiri. Dunia tidak kekurangan sarjana, tetapi kekurangan insan yang mampu mengubah krisis menjadi kesempatan.

Fenomena lulusan sarjana yang ramai-ramai mencari info lowongan sejatinya adalah cermin ketidakseimbangan yang lebih besar: antara harapan dan realitas, antara pendidikan dan kehidupan, antara gelar dan pekerjaan. 

Pendidikan tinggi tidak boleh berhenti pada seremonial wisuda, tetapi harus menempuh jalan panjang bersama lulusan, memastikan bahwa ilmu yang dimiliki bukan sekadar penghias ijazah, melainkan pegangan kuat untuk berjalan di medan kehidupan yang sesungguhnya.

Sarjana bukan sekadar gelar di atas kertas. Ia adalah janji; janji bahwa manusia itu mampu berpikir, beradaptasi, dan tumbuh bukan sebagai penunggu peluang, tetapi sebagai pencipta peluang. Dan jika kita gagal memenuhi janji itu, maka terlalu banyak sarjana akan tetap berawal dan berakhir di depan layar pencarian kerja bukan karena malas, tetapi karena sistem yang belum memberi ruang bagi potensi mereka bersinar.

 

***

*) Oleh : Mahsun Arifandy, Pengurus Ikatan Mahasiswa Raas.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.