TIMES MALANG, MALANG – Pendidikan inklusif merupakan salah satu indikator terpenting dalam menilai keadilan pendidikan. Namun, bagi wilayah-wilayah pesisir dan desa-desa terpencil di Malang Selatan seperti Donomulyo, Bantur, hingga Sumbermanjing Wetan keadilan pendidikan masih menjadi cita-cita yang belum sepenuhnya terwujud. Kondisi geografis yang menantang sering kali membuat layanan pendidikan khusus menjadi terbatas, bahkan terabaikan.
Data menunjukkan urgensinya. Profil Pemerintah Kabupaten Malang tahun 2023 menggambarkan bahwa di Donomulyo, 297 dari 319 guru SD sudah berkualifikasi S1 atau D-IV, mencapai sekitar 93 persen. Secara akademis, capaian ini patut diapresiasi. Namun, dari sisi sertifikasi profesional, terutama yang berhubungan dengan kompetensi inklusi, angka tersebut menurun drastis.
Data KAMASUTA Kabupaten Malang mencatat hanya 57 dari 188 guru SD di kecamatan ini yang memiliki sertifikat pendidik sekitar 30 persen saja. Artinya, kualitas dan kesiapan guru dalam menghadapi keberagaman siswa masih jauh dari kata memadai.
Kesenjangan seperti ini berdampak langsung pada layanan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Banyak di antara mereka yang membutuhkan dukungan pedagogis, emosional, dan adaptasi pembelajaran yang tidak bisa disediakan oleh guru tanpa pembekalan.
Belum lagi, data putus sekolah yang muncul tiap tahun pada beberapa kecamatan selatan seperti Sumbermanjing Wetan misalnya tercatat empat kasus pada tingkat SMP pada 2024 menjadi sinyal bahwa ada murid-murid yang tak terjangkau sistem pendidikan.
Dalam banyak kasus nasional, murid dengan hambatan belajar atau ketidakmampuan adaptasi di kelas reguler adalah kelompok yang paling rentan berhenti sekolah.
Di sisi lain, data BPS Kabupaten Malang mengenai jumlah sekolah, guru, dan murid menunjukkan bahwa kecamatan selatan memiliki beban pendidikan yang cukup besar tetapi tidak diimbangi dengan layanan inklusif. Sekolah-sekolah beroperasi dengan infrastruktur yang minim adaptasi untuk ABK.
Aksesibilitas fisik seperti jalur kursi roda, ruang terapi, atau bahkan ruang tenang hampir tidak ada di sekolah pedesaan. Semua ini mengonfirmasi satu hal: Malang Selatan membutuhkan pendekatan inklusi yang berbeda dan lebih terstruktur.
Karena itu, saya berpendapat bahwa masa depan pendidikan inklusif di Malang Selatan harus dirancang dengan fondasi kebijakan yang kuat dan berbasis data. Ada setidaknya empat langkah strategis yang mutlak diperlukan.
Pertama, pemerintah daerah perlu membentuk Unit Layanan Inklusi Bergerak (mobile inclusion unit). Dengan kondisi geografis yang tidak mudah dijangkau, layanan yang aktif mendatangi sekolah akan jauh lebih efektif daripada menunggu sekolah datang ke pusat layanan.
Kedua, peningkatan kompetensi guru harus dilakukan secara serius. Pelatihan dalam hal pembelajaran diferensiasi, penanganan ABK, serta adaptasi kurikulum perlu diberikan terutama di wilayah dengan rasio sertifikasi yang rendah seperti Donomulyo. Setiap guru harus dibekali kemampuan dasar inklusi, bukan hanya guru pembimbing khusus.
Ketiga, pemerintah harus membangun basis data inklusi yang terintegrasi. BPS Kabupaten Malang, Dapodik, serta Dinas Pendidikan seharusnya duduk bersama menyusun peta kebutuhan ABK per kecamatan: jumlah murid, jenis hambatan belajar, fasilitas tersedia, hingga jumlah guru yang sudah kompeten. Tanpa basis data yang solid, setiap kebijakan hanya akan menjadi tambal sulam.
Keempat, perbaikan infrastruktur sekolah harus menjadi prioritas. Tidak semua penyediaan fasilitas inklusif memerlukan anggaran besar. Banyak langkah adaptif murah yang dapat dilakukan: perbaikan akses fisik, ruang belajar fleksibel, hingga penyediaan sudut tenang bagi murid dengan sensitivitas sensorik.
Jika langkah-langkah ini dijalankan, saya percaya Malang Selatan dapat menjadi contoh bagaimana wilayah pesisir dan pedesaan mampu mengembangkan sistem pendidikan inklusif yang efektif. Pendidikan inklusif bukan hanya tentang menerima ABK di sekolah reguler, tetapi memastikan mereka belajar, tumbuh, dan dihargai sebagai bagian dari komunitas sekolah.
Pendidikan inklusif adalah komitmen moral. Ia menuntut negara hadir bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam bentuk layanan nyata yang menjangkau seluruh kecamatan, termasuk desa-desa di garis pantai selatan.
Jika Malang Selatan berhasil melakukannya, maka itu bukan hanya keberhasilan wilayah pesisir tetapi kemenangan bagi masa depan pendidikan yang lebih manusiawi, setara, dan berpihak pada semua anak.
***
*) Oleh : Ferry Baharudin, Ketua Jaringan Pemuda Peduli Pendidikan (JP3).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |