TIMES MALANG, BALI – Pada tahun ini, Nahdlatul Ulama (NU) berumur 102 tahun. Organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini telah merasakan manis-pahitnya perjalanan bangsa ini. Mulai dari masa kolonial, hingga Indonesia resmi merdeka dan diakui oleh negara lain, bahkan disegani.
Dalam perjalanannya, NU terus berikhtiar memberikan kemashlahatan kepada umat. Baik dengan bergerak secara langsung, seperti gerakan-gerakan sosial; maupun tidak langsung, seperti berdiplomasi untuk menuntut suatu kebijakan.
Dan dalam gerakan-gerakan itu, organisasi yang didirikan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari ini pernah menjelma menjadi organisasi politik, hingga akhirnya kembali ke khittah atau cita-cita asal.
Tentu, semua ini bukan tanpa alasan. Misalnya, pada saat menjadi organisasi politik, NU ingin menyatukan dan menyelamatkan umat Islam dari PKI dan kelompok berbahaya lainnya. Dan alasan-alasan lainnya.
Begitu juga saat NU terpaksa balik badan untuk fokus pada cita-cita asal, yakni murni menjadi organisasi yang melayani umat tanpa embel-embel politik.
Jika di runtut secara singkat, sejak pertama kali didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 hingga 1945, NU fokus berkiprah di pentas nasional sebagai organisasi sosial-keagamaan. Mulai terjun di dunia politik dan satu partai dengan Masyumi pada tahun 1945-1952.
Pada tahun 1952-1973, NU memilih pisah ranjang dengan Masyumi dan menjadi parpol sendiri. Lalu, pada tahun 1984, NU berkomitmen untuk kembali ke Khittah 1926, yakni fokus mengabdikan diri menjadi organisasi sosial-kemasyarakatan dan meninggalkan hiruk-pikuk pertarungan politik praktis.
Sampai saat ini, NU masih menjaga komitmennya. Meski secara keorganisasian NU sudah tidak terlibat dalam aktivitas politik, namun pada kenyataannya, secara individu banyak pengurus elit NU yang masuk ke berbagai parpol. Bahkan, pada pemilu tahun 2024, tak segan mereka menampakkan dirinya untuk terlibat dalam politik praktis.
Keputusan menjadikan NU sebagai organisasi asal sangatlah tepat. Sebab, di era sekarang, di tengah derasnya arus informasi, citra organisasi politik sangat buruk. Meski tidak semua buruk, namun framing-framing dari para netizen fomo (bukan pakar/sok tau) kerap memperburuk keadaan.
Sehingga antara yang benar dan salah menjadi kabur. Masyarakat Indonesia dengan mayoritas memiliki IQ di bawah rata-rata, sangat mudah menelan informasi dari mana saja.
Parahnya, kondisi masyarakat yang demikian dijadikan kesempatan oleh elit politik untuk saling serang dan saling menjatuhka kepada lawan politiknya dengan menggunakan tenaga buzzer. Tak heran jika mereka berternak buzzer. Logikanya, semakin banyak buzzer, algoritma di media sosial semakin didominasi oleh mereka.
Oleh karena itu, sekali lagi, keputusan NU Kembali ke khittah sangatlah tepat, untuk menghindari framing buruk dari masyarakat luas. Dengan begitu, muroáh (martabat) NU terjaga. Dan NU akan disegani dan menjadi rujukan banyak masyakarat. Tentu, tidak cukup hanya organisasinya saja yang kembali ke khittah, melainkan juga orang-orangnya terutama di kalangan elit.
Bagaimanapun bentuknya dan dinamikanya, entah sebagai organisasi politik maupun tidak, NU tetaplah organisasi yang sakral. Bagaimana tidak, organisasi ini didirikan dengan proses tirakat yang luar biasa dari ulama yang kealimannya diakui oleh banyak orang dari berbagai negara.
Kesakrakalan ini pasti menimbulkan dampak. Jika NU digunakan sesuai dengan cita-cita para muassis (pendiri), maka dampak yang ditimbulkan juga baik. Sebaliknya, jika disalahgunakan, maka akan menanggung dampak buruknya.
Di momentum hari lahir Nahdlatul Ulama yang ke 102 ini, kita patut merefleksikan kembali perjalanan NU di masa lampau. Kita terus berupaya agar NU terjaga dari hal-hal yang keluar dari relnya. Sehingga NU akan terus menjadi pelita di tengah gulita. Dan memberikan kesegaran di tengah kegersangan.
***
*) Oleh : Ahmad Hirzan Anwari, Pengajar di Yayasan Pesantren Nurul Iman Pengastulan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |