TIMES MALANG, MALANG – Pulau Raas adalah kampung halaman saya. Sebuah pulau kecil di ujung timur Madura yang mungkin jarang disorot media nasional, tapi menyimpan berbagai persoalan pelik yang tidak kalah serius dengan daerah lain. Jauh dari pusat pemerintahan, jauh dari mata pengawas, dan akibatnya jauh pula dari keadilan.
Selama bertahun-tahun, Pulau Raas menjadi wilayah yang terlupakan. Bukan hanya dalam urusan pembangunan infrastruktur, tetapi juga dalam hal pengawasan keuangan dan distribusi bantuan sosial.
Yang paling menyakitkan, dalam situasi masyarakat yang masih serba kekurangan itu, oknum kepala desa justru sibuk memperkaya diri dari dana bantuan yang seharusnya menyentuh rakyat kecil.
Kasus terbaru soal dugaan korupsi Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) adalah bukti betapa dalamnya penyakit ini di desa-desa kita. Berdasarkan data resmi, dari total Rp109 miliar anggaran BSPS di Kabupaten Sumenep tahun 2024, dugaan penyimpangan terjadi di 5.490 unit rumah.
Termasuk di antaranya Pulau Raas, di mana 139 warga penerima BSPS sudah dipanggil Kejaksaan Negeri Sumenep untuk diperiksa karena dugaan keterlibatan atau jadi korban penyalahgunaan program tersebut.
Modusnya macam-macam. Ada penerima fiktif, nama-nama yang tercatat sebagai penerima tapi tidak pernah ada secara fisik. Ada rumah yang mestinya dibangun sesuai standar tapi ternyata asal-asalan.
Ada pula pemotongan dana, di mana uang bantuan yang seharusnya diterima penuh oleh rakyat, dipotong oleh oknum fasilitator dan kepala desa, dengan dalih biaya administrasi dan macam-macam alasan lainnya.
Warga Pulau Raas paham betul praktik kotor ini. Tapi, apa daya, selama ini suara mereka seolah tidak punya nilai. Kalaupun protes, seringkali dibungkam dengan ancaman sosial atau tekanan dari pejabat desa.
Ada ketakutan di kalangan warga untuk bicara soal ini, karena relasi sosial di kampung kecil seperti Pulau Raas sangat kental, dan yang berkuasa bisa dengan mudah menekan yang lemah.
Banyak rumah warga miskin di kampung saya yang sampai hari ini masih berlantaikan tanah, dinding dari anyaman bambu rapuh, dan atap bocor ke sana-sini. Tapi anehnya, penerima bantuan BSPS justru ada yang rumahnya lebih bagus, bahkan sebagian rumah kosong milik kerabat kepala desa.
Sayangnya, praktik semacam ini tidak lepas dari budaya politik uang yang sudah mengakar. Tiap Pilkades di Pulau Raas dan juga di banyak desa di madura pemilihan kepala desa bukan lagi soal siapa yang paling peduli atau siapa yang punya visi terbaik. Tapi soal siapa yang paling banyak bagi-bagi uang.
Uang Rp100.000 atau Rp200.000 bisa dengan mudah membeli suara. Sementara, janji-janji soal pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial hanya sekadar bumbu kampanye yang hilang saat kursi kepala desa sudah di tangan.
Ironisnya, masyarakat sendiri ikut berperan dalam merawat budaya ini. Karena kondisi ekonomi yang berat, banyak warga akhirnya lebih tergoda menerima uang ketimbang berpikir jangka panjang soal masa depan desa.
Mereka tahu, begitu kepala desa yang bagi-bagi uang itu terpilih, dana desa akan jadi ladang bancakan. Tapi, karena kebutuhan mendesak, suara pun tetap dijual.
Akibat buruk dari kepemimpinan desa yang rusak itu bukan cuma soal infrastruktur yang hancur atau bantuan sosial yang tidak merata. Tapi juga soal hilangnya harapan generasi muda. Hari ini, anak-anak muda Pulau Raas lebih banyak memilih merantau ke Bali dan kota-kota lain, ketimbang tinggal di desa.
Mereka tahu, di sini peluang hampir tidak ada. Tidak ada ruang untuk berkembang, tidak ada program pengembangan pemuda, bahkan lapangan kerja kecil-kecilan pun sulit ditemukan.
Sementara, para lansia tinggal di kampung, menunggu nasib. Menunggu program bantuan sosial yang seringkali tidak tepat sasaran. Menunggu pembangunan yang tidak kunjung selesai. Dan menunggu keadilan yang tidak pernah datang.
Saya menulis ini bukan untuk mempermalukan siapa pun. Tapi untuk menyadarkan kita semua, khususnya warga Pulau Raas, bahwa desa kecil ini juga berhak punya pemimpin besar. Pemimpin yang mau transparan soal dana desa. Pemimpin yang tidak hanya ramah saat kampanye, tapi berani menegakkan keadilan saat sudah berkuasa.
Kita tidak bisa lagi membiarkan pemilihan kepala desa hanya jadi ajang transaksi uang. Harus ada perubahan cara pandang. Kita mesti memilih pemimpin karena kapasitas dan keberaniannya membela rakyat kecil, bukan karena isi amplopnya. Harus ada kesadaran kolektif, bahwa harga diri desa ini jauh lebih mahal ketimbang uang seratus ribu di hari coblosan.
Kasus dugaan korupsi BSPS ini harus jadi pelajaran penting. Penegak hukum wajib menindak tegas siapa pun yang terlibat, mulai dari fasilitator lapangan, kepala desa, hingga pejabat yang bermain di balik layar. Tidak boleh ada kompromi.
Jika terbukti ada kepala desa di Pulau Raas yang ikut bermain dalam kasus ini, harus diproses hukum, diumumkan ke publik, dan dilarang ikut mencalonkan diri lagi di Pilkades mendatang. Desa tidak akan pernah maju jika dibiarkan terus dipimpin oleh orang-orang serakah yang menjadikan jabatan sebagai alat dagang.
Kita warga Pulau Raas harus lebih pintar dan lebih berani. Jangan jual suara kita murah-murah. Jangan hanya karena amplop kita biarkan desa ini tetap dalam kegelapan. Mulailah pilih pemimpin yang peduli sama rakyat kecil, bukan yang sibuk urus proyek.
Desa ini milik kita. Kalau kita terus diam dan tidak peduli soal siapa yang memimpin, jangan heran kalau delapan tahun ke depan Pulau Raas masih begini-begini saja. Jalan rusak, bantuan sosial diselewengkan, anak-anak muda pergi merantau, dan orang tua tinggal menunggu nasib.
Saatnya warga Raas bangkit. Saatnya kita lawan budaya politik uang. Saatnya kita cari pemimpin yang benar-benar niat membangun, bukan hanya bagi-bagi amplop.
Dan yang paling penting, jangan pernah takut bersuara. Karena kalau kita diam, kezaliman akan terus terjadi. Tapi kalau kita berani, perubahan itu bisa dimulai dari desa kecil seperti Pulau Raas. (*)
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |