TIMES MALANG, JAKARTA – Kelangkaan LPG 3 kg semakin menjadi persoalan yang menghantui masyarakat, terutama mereka yang bergantung pada energi bersubsidi ini untuk kebutuhan rumah tangga dan usaha kecil.
Di banyak daerah, khususnya di pedesaan, masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan gas akibat pasokan yang terbatas serta distribusi agen yang tidak merata.
Masalah ini semakin diperburuk oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang secara langsung berdampak pada biaya transportasi dan distribusi gas.
Dalam situasi ini, pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahwa masyarakat tidak boleh menimbun gas menjadi sebuah dilema tersendiri.
Aturan yang membatasi pembelian per orang membuat warga desa harus bolak-balik ke agen, menempuh jarak yang jauh, serta mengeluarkan biaya transportasi tambahan.
Bagi masyarakat perkotaan yang memiliki akses lebih mudah, aturan ini mungkin tidak terlalu bermasalah. Namun bagi warga desa, keterbatasan ini justru semakin membebani mereka secara ekonomi maupun waktu.
Permasalahan lain yang patut dipertanyakan adalah transparansi harga gas subsidi. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa modal produksi gas hanya sekitar Rp12.000 per tabung, tetapi di pasaran harganya melonjak hingga Rp20.000–Rp30.000, bahkan lebih di beberapa daerah terpencil.
Lonjakan harga ini menunjukkan adanya ketidakwajaran dalam sistem distribusi yang seharusnya dikendalikan pemerintah. Jika subsidi diberikan, mengapa harga gas tetap tinggi?
Di sinilah pentingnya investigasi lebih lanjut terhadap rantai distribusi LPG 3 kg. Apakah ada praktik spekulasi yang dilakukan oleh agen atau pengecer? Apakah ada oknum tertentu yang mengambil keuntungan berlebihan dari selisih harga subsidi?
Jika memang terjadi penyimpangan dalam distribusi, maka pemerintah perlu bertindak tegas agar subsidi benar-benar sampai ke masyarakat yang membutuhkan.
Selain itu, pernyataan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang menyatakan kepada seorang demonstran bahwa "Bapak mendapat harga yang baik" juga menimbulkan tanda tanya besar. Apakah yang dimaksud dengan "harga baik" jika Sri Mulyani sendiri mempertanyakan ketidakwajaran harga pasar?
Jika harga LPG memang sudah dianggap wajar oleh sebagian pejabat pemerintah, maka mungkinkah ada perbedaan pemahaman atau bahkan ketidaksepakatan di dalam tubuh pemerintah mengenai kebijakan harga dan subsidi gas?
Kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan ini semakin memperburuk situasi. Dengan BBM yang lebih mahal, ongkos transportasi meningkat, yang secara otomatis berimbas pada harga distribusi gas. Hal ini memperbesar kemungkinan bahwa agen dan pengecer menaikkan harga LPG dengan dalih biaya operasional yang lebih tinggi.
Sayangnya, tanpa pengawasan ketat dari pemerintah, sulit untuk memastikan bahwa kenaikan harga ini benar-benar mencerminkan biaya yang wajar dan bukan akibat permainan spekulan.
Selain itu, kenaikan harga BBM juga berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Sektor rumah tangga, usaha kecil, hingga industri rumahan yang mengandalkan gas bersubsidi kini harus menghadapi lonjakan biaya operasional.
Akibatnya, mereka terpaksa menaikkan harga produk atau jasa, yang pada akhirnya akan mempercepat laju inflasi dan semakin membebani ekonomi rakyat kecil.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan langkah konkret dari pemerintah. Beberapa solusi yang menurut saya bisa diterapkan antara lain:
Pemerintah perlu membangun sistem pemantauan berbasis digital untuk mengawasi distribusi gas subsidi dari tingkat produsen hingga pengecer.
Dengan teknologi seperti aplikasi pemantauan stok dan harga berbasis lokasi, pemerintah dapat mengetahui titik-titik rawan kelangkaan dan memastikan bahwa distribusi berjalan dengan adil.
Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan adalah skema subsidi langsung kepada masyarakat yang berhak. Dengan sistem ini, subsidi tidak lagi diberikan kepada distributor, tetapi langsung kepada konsumen dalam bentuk voucher atau saldo digital yang hanya bisa digunakan untuk membeli LPG 3 kg. Cara ini dapat mengurangi kebocoran dan penyimpangan dalam distribusi.
Pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap agen dan pengecer yang menaikkan harga di luar batas wajar. Jika ditemukan adanya spekulasi atau praktik penimbunan oleh oknum tertentu, sanksi tegas harus diberikan, termasuk pencabutan izin usaha bagi agen yang terbukti melanggar ketentuan.
Distribusi agen gas harus diperluas hingga ke daerah-daerah yang selama ini kurang terjangkau. Pemerintah dapat menggandeng Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau koperasi lokal untuk berperan sebagai agen resmi, sehingga masyarakat tidak perlu menempuh perjalanan jauh hanya untuk mendapatkan gas subsidi.
Pemerintah perlu melakukan kajian menyeluruh mengenai struktur biaya produksi dan distribusi gas LPG subsidi. Jika memang terdapat celah dalam sistem yang menyebabkan harga pasar jauh lebih tinggi dari modal, maka kebijakan harga harus dievaluasi kembali agar lebih berpihak kepada masyarakat kecil.
Kelangkaan gas subsidi dan ketidakwajaran harga LPG 3 kg bukan sekadar isu ekonomi, tetapi juga mencerminkan perlunya reformasi dalam sistem distribusi dan kebijakan subsidi energi. Jika masalah ini tidak segera ditangani, maka dampaknya akan semakin meluas, terutama bagi masyarakat kecil yang semakin terhimpit oleh kenaikan harga BBM dan gas.
Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa subsidi benar-benar sampai ke rakyat yang membutuhkan, bukan hanya menjadi keuntungan bagi segelintir pihak.
Langkah-langkah seperti transparansi distribusi, penegakan hukum terhadap spekulan, serta pemerataan akses agen LPG harus segera diwujudkan agar energi bersubsidi dapat dinikmati dengan harga yang wajar oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Kini, pertanyaan yang tersisa adalah: apakah pemerintah benar-benar berkomitmen untuk menekan harga gas agar lebih terjangkau, ataukah persoalan ini akan terus dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi nyata?
***
*) Oleh : Noer Syabilah Ramadyni, Mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |