TIMES MALANG, PACITAN – Peristiwablending Pertalite dan Pertamak serta isu-isu lain belakangan sangat menyayat hati dan mengguncang pikiran seluruh rakyat Indonesia. Sambutan kepada bulan Ramadan yang semestinya dengan kekhusu’an harus sedikit bergeser ke kegaduhan dan luapan emosi masyarakat yang diekspresikan di berbagai media sosial dan platform digital. Seolah, rakyat merasa ‘goblok ndadak’ alias linglung akibat penyimpangan seorang pemimpin di negeri ini.
Akibat dari kenyataan itu, kepercayaan rakyat berangsur rontok, sehingga sebagian besar rakyat beralih ke penyedia BBM ke selain plat merah. Rakyat semakin kejang-kejang setelah Kejagung memperkirakan, bahwa dampak perilaku rakus tersebut merugikan negara hingga mencapai 900 triliun rupiah.Innalillahi wa innailaihi rajiun!
Lantas, apa dan bagaimana seharus masyarakat muslim khususnya, dan rakyat Indonesia umunya dapat belajar dari peristiwa tersebut di tengah suasana puasa Ramadan. Tidak mudah memang, seorang atau orang yang berpuasa benar-benar menyandang gelar “shoim” murni (khalis) nir oplosan.
Berbagai literatur menerangkan bila lafadz shoim identik berakar dari lafadz shiyam dan shaum. Secara etimologi tidaklah memiliki perbedaan yang mencolok. Sebagaimana penjelasan Ibnu Mandzur kitab Lisanul Arab, bahwa “shaum” artinya “tark al-tha’am wa al-syarrab wa al-nikah wa al-kalam”, artinya tidak makan, minum, hubungan seksual, tidak berkata-kata.
Sementara itu, “shiyam” merujuk pada arti lebih operasional dan prosedural, yaitu imsak ‘an al-akl wa al-syurb wa al-jima’ min thulu’ al-fajr ila ghurub al-syams ma’a al-niyyah, artinya tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan seksual sejak fajar terbit hingga matahari terbenam.
Shaum dengan makna yang lebih luas tanpa keterangan waktu, sedangkan shiyam lebih spesifik karena disertai penjelasan waktu (ulasan lebih lanjut dapat dilihat di https://babel.kemenag.go.id/id).
Lantas apa hubungannya baik shoum atau shiyam dengan fenomena perilaku sebagian pemimpin kita yang rakus, sehingga mereka tega merekayasa sesuatu yang tidak patut baik secara moral, hukum dan bahkan agama?
Puasa dan Pemurnian Fungsi Nafsu
Sesuai asal usul penciptaan, nafsu diciptakan untuk manusia agar dapat menikmati dan mensyukuri terhadap anugerah allah SWT (Q.S As-Syams/91: 7). Hanya saja, selalu haus akan duniawi kecuali kematian.
Seperti Riwayat dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda “Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat” (Muttafaqun ‘alaih).
Sejurus dengan kecondongan “nafsu” Syeikh Utsman bin Hasan ibn Ahmad As-Syakir al-Khoubari dalam kitab Duurotun Nashihin, menyebut bahwa sebetulnya target utama syariat “shoum” adalah “nafsu”.
Syeikh Utsman menerangkan bila “shaum” secara bahasa dengan al-imsak amma tanaza’a ilaihi an-nafs, yang artinya menahan/meninggalkan segala hal yang menjadi kecenderungan nafsu. Sementara secara istilah menahan dari tiga hal (makan, minum dan seksual) yang dapat membatalkan pada siang hari, karena ketiga hal tersebut dianggap yang utama (hal 11).
Dari sini dapat kita pahami, bila “nafsu” sejak awal penciptaan manusia, berulangkali mendorong perilaku berlebihan. Sehingga, usaha keras yang harus dilakukan adalah berbuat sebaliknya. Seperti saran Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis tentang seorang pemuda yang belum mampu secara material, agar menangani keliaran “nafsu” dengan berpuasa.
Lebih lanjut, Syeikh Utsman menjelaskan, “bahwa sesungguhnya setelah Allah SWT menciptakan akal. Allah berujar kepada Akal, “Menghadaplah, lantas akal menghadap”.
Kemudian Allah berujar lagi, “Berpalinglah lantas sang akal berpaling”. Kemudian Allah bertanya, “Siapakah engkau dan siapakah saya?”. Akal menjawab, “Aku adalah akal dan Engkau adalah Tuhanku, dan aku adalah hamba yang lemah”. Lantas Allah memaklumatkan kepada akal, “Wahai akal, aku belum pernah menciptakan sebuah ciptaan semulia dirimu”.
Selang beberapa waktu, Allah menciptakan “nafsu”. Kejanggalan mulai terjadi saat Allah memerintahkan untuk menghadap dan berpaling, teryata nafsu tidak merespon, Allah kemudian Allah bertanya, “Wahai Nafsu, siapa saya dan siapa kamu?”.
Nafsu dengan angkuh menjawab, “Saya ya saya, Engkau ya Engkau!”, mendengar jawaban tersebut Allah murka dan menyiksa “nafsu” dengan api jahanam selam seratus tahun.
Dirasa cukup, Allah mengeluarkan dan bertanya tentang pertanyaan “siapa saya siapa kamu”, si nafsu masih ngeyel dengan jawaban “ana ana, anta anta”. Allah pun murka untuk kedua kalinya, si nafsu dihukum di “neraka kelaparan” selama seratus tahun.
Singkat cerita, “nafsu” akhirnya tunduk dan patuh seraya mengakui kehambaan dan ketiadaberdayaan dirinya, dan Allah adalah Tuhanya (Utsman, hal 13). Kisah metafor yang dipaparkan Syeikh Ustman tersebut menegaskan bahwa unsur nafsu dalam manusia (ego) berpotensi menandingi Allah (Q.S al-Furqan/25: 43).
Bahkan, “nafsu” manusia tetap bebal dan gila harta meski telah sampai liang lahat (Q.S al-Takatsur/102: 43). Sehingga Allah membuatkan kebijakan tentang syariat puasa bagi umat manusia (Q.S al-Baqarah/2: 183).
Sudah sepatutnya, manusia sadar dan bertekad membersihkan nafsunya, agar manusia menjadi orang yang beruntung (Q.S As-Syams/91: 9). Serta akan menjadi pribadi-pribadi yang menerapkan nilai moral, hukum dan agama, sebagai orang yang bertaqwa, penyandang gelar shoim yang zaki (bersih).
***
*) Oleh : Ali Makhrus, M.A., Pengurus Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Madiun.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |