TIMES MALANG, JAKARTA – Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren telah memainkan peran penting sebagai pusat pendidikan, dakwah, dan pergerakan sosial. Lembaga pendidikan ini telah eksis jauh sebelum kemerdekaan.
Menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya tokoh-tokoh bangsa, ulama, dan pejuang yang tidak hanya fasih dalam ilmu agama, tetapi juga memiliki kesadaran sosial dan nasionalisme yang tinggi. Pesantren adalah mercusuar peradaban, yang dari rahimnya lahir cahaya pengetahuan dan nilai-nilai kebangsaan.
Hubungan pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah simbiosis historis dan ideologis. NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia tumbuh dari akar pesantren, dan sebaliknya, pesantren menjadi benteng nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah yang menjadi identitas NU.
Hubungan ini tidak sekadar simbolik, melainkan inheren: pesantren adalah wahana dakwah NU, sementara NU menjadi rumah besar yang menaungi jutaan santri dan kiai. Keduanya menjadi kekuatan moral sekaligus sosial politik dalam menjaga keutuhan bangsa.
Namun, dalam perjalanan panjangnya, pesantren kerap mengalami marginalisasi kebijakan, baik dalam aspek pendidikan formal maupun akses terhadap sumber daya pembangunan.
Di sinilah titik balik sejarah terjadi: Undang-Undang Pesantren No. 18 Tahun 2019, yang menjadi tonggak pengakuan negara terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan khas Indonesia yang memiliki kekhasan dalam sistem, kurikulum, dan tata kelola.
Undang-undang ini lahir berkat perjuangan kolektif, terutama oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sejak awal menjadi pengusung aspirasi kaum pesantren di parlemen. Ini adalah wujud konkrit keberpihakan politik kepada pesantren yang selama ini menjadi tulang punggung moral bangsa.
Namun pengakuan formal bukanlah akhir dari perjuangan. Keberpihakan pemerintah terhadap pesantren harus terus diperkuat, terutama dalam bentuk kebijakan afirmatif dan alokasi anggaran yang berpihak.
Dalam berbagai kesempatan, kita menyaksikan masih adanya ketimpangan antara pesantren dan lembaga pendidikan lainnya dalam akses infrastruktur, teknologi, serta penguatan kapasitas sumber daya manusia.
Dalam konteks inilah, Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., memainkan peran penting. Beliau adalah representasi dari ulama-intelektual yang memahami kondisi lapangan sekaligus memiliki visi transformasi.
Dalam rapat bersama Komisi VIII DPR RI, Prof Menag secara jujur memaparkan kondisi madrasah dan pesantren di Indonesia yang masih tertinggal dalam banyak aspek, mulai dari sarana prasarana hingga akses teknologi.
Beliau menggambarkan bagaimana banyak madrasah yang masih jauh dari kata layak, sementara para guru dan tenaga pendidik belum sepenuhnya mendapat kesejahteraan yang layak.
Namun, di balik keterbatasan itu, Prof Menag melihat potensi besar pesantren sebagai kekuatan strategis bangsa. Oleh karena itu, beliau mendorong transformasi pesantren secara menyeluruh, baik dalam aspek kelembagaan, kurikulum, maupun ekonomi pesantren.
Salah satu pendekatan utama adalah mengintegrasikan pesantren ke dalam ekosistem digital dan ekonomi modern, tanpa menghilangkan kekhasan dan nilai-nilai tradisionalnya.
Dalam pandangan beliau, pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga sentra kewirausahaan, inovasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Transformasi ini sejalan dengan visi besar Pesantren Emas 2045, yaitu menjadikan pesantren sebagai pilar utama dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045, saat Indonesia genap berusia 100 tahun merdeka.
Dalam visi ini, pesantren tidak hanya menjadi lembaga pendidikan yang mandiri dan maju, tetapi juga aktor utama dalam pembangunan nasional yang berkarakter, berdaya saing, dan berkeadilan. Pesantren akan melahirkan generasi santri yang tidak hanya hafidz dan alim, tetapi juga cakap dalam teknologi, kewirausahaan, dan kepemimpinan sosial.
Sebagai pengamat ekonomi, saya melihat pesantren memiliki potensi besar dalam menggerakkan ekonomi kerakyatan. Dengan jumlah yang mencapai puluhan ribu dan tersebar di seluruh pelosok nusantara, pesantren bisa menjadi basis ekonomi komunitas berbasis syariah.
Untuk mencapai itu, pesantren perlu didukung oleh kebijakan yang progresif, terutama dalam akses permodalan, pelatihan manajemen, dan digitalisasi usaha. Program-program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) Pesantren, Badan Usaha Milik Pesantren (BUMPes), hingga inkubator bisnis pesantren, harus menjadi bagian dari kebijakan prioritas pemerintah.
Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Prof Menag telah membuka jalan ke arah itu, namun pekerjaan rumah masih besar. Perlu dukungan lintas sektor, sinergi antara kementerian dan lembaga, serta peran aktif masyarakat sipil, khususnya kalangan Nahdliyin dan Ansor serta Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), untuk memastikan bahwa transformasi ini berkelanjutan dan tidak terhenti sebagai program seremonial.
Akhirnya, pesantren adalah mercusuar yang tidak boleh padam cahayanya. Dari sinilah lahir harapan, dari sinilah bangkit kesadaran bangsa. Saat kita menuju Indonesia Emas 2045, pesantren harus menjadi bagian utama dari narasi kebangsaan kita.
Kita beruntung, saat ini, pemerintah memiliki Menag yang tidak hanya memahami pesantren secara teoritik, tetapi juga mencintainya sepenuh hati.
Semoga, dari pesantren, lahir generasi emas yang tidak hanya membangun Indonesia secara lahiriah, tetapi juga membawa bangsa ini menuju kemuliaan spiritual dan peradaban luhur yang berkeadilan dan bermartabat.
***
*) Oleh : Muhammad Aras Prabowo, Pengamat Ekonomi UNUSIA, Ketua Program Studi Akuntansi UNUSIA, Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |