TIMES MALANG, JAKARTA – Setiap tahun kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di tanggal 2 Mei. Euforia yang mungkin sebagian di antara kita hanya berkesan simbolis belaka. Betapa tidak, melihat trend pendidikan Indonesia sekarang mungkin hanya terbesit satu kata, miris. Problem pendidikan di Indonesia seakan tidak menemui ujung, bagai benang kusut yang menggumpal dan sulit terurai.
Potret Pendidikan Terkini
Beberapa waktu terakhir kita dihebohkan dengan kecurangan yang dilakukan oleh peserta SNBT dengan memanfaatkan alat tertentu dan bantuan joki. Beberapa sekolah siswanya mengalami keracunan setelah mengonsumsi MBG. UKT membumbung tinggi dan diperparah dengan efisiensi anggaran yang berdampak pada dibatasinya kegiatan & fasilitas pendidikan.
Di sisi lain, peserta seleksi PPPK guru lulusan PPG Prajabatan harus gigit jari karena tidak lolos seleksi administrasi. Belum lagi tradisi yang terus berulang, “Ganti menteri, ganti kebijakan”. Problem tersebut layaknya gunung es yang hanya tampak bagian atasnya saja, padahal di bawahnya lebih besar lagi.
Seharusnya hal ini sudah bisa menjadi sinyalemen bahwa banyak yang harus dibenahi. Tentu kita tidak bisa hanya menyalahkan satu pihak, pemerintah misalnya, mengapa semua ini dapat terjadi.
Walaupun memang pemerintah memiliki porsi besar untuk bertanggungjawab dalam mengatasi ini semua. Hal tersebut dikarenakan pemerintah berperan dalam mengambil kebijakan, pendanaan, serta pengawasan.
Mengembangkan Pola Pikir Tumbuh
Tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan pendidikan di Indonesia bersifat sistemik dan lintas sektor. Dengan demikian, stakeholder pendidikan memiliki peran strategis untuk berkolaborasi dalam mengatasi hal tersebut.
Para stakeholder pendidikan, baik pemerintah, pendidik, maupun masyarakat perlu memiliki pola pikir tumbuh atau growth mindset untuk berpartisipasi dalam mengatasi problem pendidikan di Indonesia.
Tanpa pola pikir tumbuh, semua kebijakan hanya akan bermuara pada sikap defensif, ego sektoral, serta resisten terhadap kritik dan saran. Ini bukan hal baru bagi dunia pendidikan Indonesia, karena seakan sudah menjadi budaya yang sulit berubah. Oleh karena itu, perlu ada pergeseran mindset para stakeholder.
Pola pikir tumbuh menjadikan kita lebih terbuka, kolaboratif, dan memiliki keinginan kuat untuk terus berkembang. Hal ini perlu menjadi standar minimal yang harus dimiliki. Dengan demikian, kita semua dapat terus belajar memperbaiki diri dan tidak memaksakan kehendak.
Evaluasi Program Pendidikan
Rakyat tentu memahami niat baik pemerintah untuk dunia pendidikan. Namun, perlu dipahami juga bahwa kebijakan pemerintah tidak serta merta sempurna. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi terus menerus. Harus ada asesmen yang obyektif apakah program tersebut berjalan dengan baik, apakah memberikan dampak yang signifikan, dan sebagainya.
Misalnya pada program MBG, publik perlu tahu apakah program tersebut berhasil memperbaiki gizi anak. Pemerintah bisa melakukan asesmen awal sebelum memberikan MBG dan asesmen akhir setelah memberikan MBG dalam kurun waktu tertentu.
Kita harus fokus pada tujuan awal MBG ini, sehingga tidak hanya larut dalam narasi terkait ekonomi dan lainnya. Selain itu, jangan menyampingkan kenyataan bahwa ada sebagian pelajar yang intoleran dengan jenis makanan tertentu. Oleh karenanya, perlu ada kebijakan yang lebih inklusif agar hal tersebut dapat terakomodir.
Hari Pendidikan Nasional di tahun 2025 ini semoga menjadi momentum untuk terus berbenah. Kita perlu isi tidak hanya dengan kegiatan yang bersifat seremonial, namun juga berupaya menyelesaikan masalah pendidikan yang lebih subtantif.
Selain itu, Hari Pendidikan Nasional jangan sampai hanya diisi dengan kata-kata mutiara dari tokoh tertentu, dan hanya jadi isapan jempol belaka. Kita bersama harus bisa merealisasikannya dan bersatu untuk mewujudkan pendidikan Indonesia yang lebih baik. (*)
***
*) Oleh : Nur Arviyanto Himawan, Pengamat Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |