https://malang.times.co.id/
Opini

Koalisi Permanen dan Ancaman Praktik Hyper Presidensialism

Rabu, 19 Februari 2025 - 16:41
Koalisi Permanen dan Ancaman Praktik Hyper Presidensialism Muhammad Jundi Fathi Rizky, Mahasiswa Aktif Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah dan Peneliti di Distrik HTN Institute.

TIMES MALANG, JAKARTA – Beberapa hari lalu, tepatnya pada hari Jumat tanggal 14 Februari 2025. Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengadakan pertemuan dengan seluruh pimpinan Partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.

Pertemuan ini digelar dalam rangka silaturahmi dan evaluasi 100 hari kepemimpinan Prabowo sebagai Presiden. Namun, lebih dari sekadar silaturahmi, pertemuan ini juga membahas wacana pembentukan koalisi permanen.

Menurut ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar, tujuan dari koalisi permanen ini adalah untuk memperkuat persatuan dan mendorong kemajuan bersama. Sekilas, alasan ini memang terdengar mulia dan heroik, mengingat persatuan dan kemajuan bersama adalah hal yang sangat di cita-citakan.

Di balik niat tersebut, wacana ini justru  akan memunculkan potensi merusak sistem tatanan bernegara di Indonesia. Sebagaiamana yang telah kita ketahui bahwasannya dalam menjalankan fungsi pemerintahannya, Indonesia mengadopsi pemisahan kekuasaan Separation of power.

Dimana masing-masing cabang kekuasaan memiliki porsi nya. Pemisahan kekuasaan ini bertujuan agar terciptanya mekanisme check and balaces sehingga mencegah kekuasaan yang bersifat absolut. 

Sebagaimana pendapat ahli sejarah inggris yaitu Lord acton menyebutkan bahwa kekuasaan yang cenderung absolut akan menjadi korup. Maka untuk itulah mekanisme check and balances hadir.

Melihat pada realitas demikian dimana kondisi mayoritas partai politik di parlemen yang terikat dalam koalisi yang akan diwacakan permanen. Maka praktis keadaan demikan akan melemahkan mekanisme pengawasan dan pengimbangan kekuasaan.

Tanpa adanya oposisi yang kuat, presiden dapat dengan mudah mengendalikan proses legislasi, pembuatan kebijakan, hingga pengambilan keputusan strategis tanpa hambatan berarti.

Akibatnya, parlemen hanya menjadi alat stempel bagi eksekutif untuk mengesahkan berbagai kebijakan. Kondisi ini berpotensi mendorong terjadinya praktik Hyper Presidensialism, yaitu situasi di mana kekuasaan eksekutif, khususnya presiden menjadi sangat dominan dan nyaris tak terkendali.

Pengalaman kepemimpinan Joko Widodo telah menunjukkan dampak buruk dari dominasi eksekutif dalam proses legislasi. Pengawasan dari parlemen menjadi tidak optimal, dan legislatif yang seharusnya membuka ruang partisipasi publik bermakna justru hanya menjadi alat stempel bagi eksekutif untuk mengesahkan kebijakan-kebijakan bermasalah.

Hal ini terlihat dalam pengesahan RUU Cipta Kerja dan RUU IKN, yang keduanya dikritik karena minimnya pelibatan substantif dari masyarakat. Fungsi legislasi semakin dipertanyakan ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengesahkan Revisi UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Urgensi revisi UU ini patut dipertanyakan, karena terkesan hanya membuka jalan bagi Presiden Prabowo Subianto untuk menambah jumlah kementerian, yang pada akhirnya menyebabkan pembengkakan anggaran untuk membiayai kementerian-kementerian baru tersebut.

Praktik hyper presidensialism juga membuka peluang bagi presiden untuk bertindak secara otoriter dan berpotensi merusak iklim demokrasi. Melalui kebijakan-kebijakan populis yang diambil tanpa pertimbangan matang, presiden merasa dirinya sebagai pemegang kekuasaan tunggal yang tidak dapat ditentang.

Dalam kondisi seperti ini, setiap pihak yang mengkritik atau menentang kebijakan presiden akan dengan mudah dilabeli sebagai penghalang persatuan dan kemajuan bangsa. Hal ini persis seperti alasan terbentuknya koalisi ini yaitu  “demi persatuan bangsa”.

Dalam buku How democries die pemimpin otoriter akan cenderung menggunakan Narasi "demi kepentingan bangsa" untuk membungkam oposisi, yang sesungguhnya justru diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan kesehatan demokrasi.

Urgensi Menjaga Marwah Peradilan

Ketika lembaga eksekutif berelasi dengan lembaga legislatif, praktis harapan mencegah praktik hyper presidelism hanya ada pada lembaga yudikatif. Sebagai satu satunya cabang kekuasaan yang memiliki legitismasi untuk membatalkan produk kebijakan dari eksekutif dan legislatif.

Untuk itu, demi menjaga kewarasan berdemokrasi sangat penting untuk menjaga yudikatif agar tidak ada intervensi dari berbagai pihak. Kemandirian lembaga yudikatif menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan sistem demokrasi, terutama di tengah menguatnya kecenderungan eksekutif yang dominan.

Tanpa independensi yudikatif yang kuat, checks and balances dalam sistem ketatanegaraan akan runtuh, membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan yang berpotensi mengancam esensi demokrasi.

Meskipun lembaga peradilan memiliki peran penting, kita tidak bisa sepenuhnya bergantung padanya. Masyarakat juga harus berperan aktif dalam melakukan pengawasan sosial untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Pengawasan ini dapat diwujudkan melalui media yang independen dan gerakan aktivisme hukum yang masif. Premis ini telah terbukti ketika DPR dan Pemerintah mencoba membangkang terhadap Putusan MK.

Saat itu, RUU yang hendak disahkan secara terburu-buru akhirnya dibatalkan berkat tekanan dan penolakan publik secara kolektif. Pengalaman ini menunjukkan pentingnya menjaga kesadaran dan partisipasi publik untuk mewujudkan esensi bernegara yang sesungguhnya.

***

*) Oleh : Muhammad Jundi Fathi Rizky, Mahasiswa Aktif Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah dan Peneliti di Distrik HTN Institute.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.