TIMES MALANG, JEMBER – Setiap tahun, ketika bulan Ramadan mencapai penghujungnya, umat Islam di seluruh dunia merenungi perjalanan spiritual mereka. Di masjid-masjid, banyak yang memilih untuk berdiam dalam i’tikaf, mendekatkan diri kepada Allah dengan doa dan refleksi mendalam.
I’tikaf bukan sekadar aktivitas ibadah, tetapi juga momentum untuk mengasah kesadaran diri, memperbaiki niat, dan mengevaluasi langkah-langkah hidup.
Dalam kesunyian masjid, seseorang dapat menata ulang prioritasnya, memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil selaras dengan nilai-nilai kebaikan dan keadilan. Semangat ini sejatinya dapat menjadi inspirasi bagi kehidupan sehari-hari, termasuk dalam mengelola berbagai aspek sosial dan pemerintahan, salah satunya dalam pengelolaan anggaran.
Jika semangat i’tikaf diterapkan dalam pengelolaan anggaran, maka setiap kebijakan keuangan harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian, kejujuran, dan kebermanfaatan bagi masyarakat luas. Anggaran negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, seharusnya dikelola dengan penuh tanggung jawab, sebagaimana seorang yang ber-i’tikaf menjaga kemurnian niatnya.
Evaluasi rutin terhadap penggunaan anggaran menjadi bentuk muhasabah yang memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan benar-benar memberi dampak positif bagi rakyat.
Dengan semangat refleksi dan pengendalian diri sebagaimana dalam i’tikaf, para pemangku kebijakan dapat lebih bijak dalam menyusun prioritas belanja negara, menghindari pemborosan, serta memastikan bahwa anggaran digunakan untuk kemaslahatan umat.
Kita sering mendengar tentang kebocoran anggaran, belanja negara yang kurang tepat sasaran, serta proyek-proyek yang kurang efisien. Seperti seorang Muslim yang sedang i'tikaf meninggalkan kesia-siaan untuk fokus pada hal-hal esensial, demikian pula anggaran negara seharusnya dikelola dengan prinsip yang sama: efisiensi, kesederhanaan, dan manfaat maksimal bagi rakyat.
Kontemplasi di Akhir Ramadan: Sebuah Muhasabah Kebangsaan
Akhir Ramadan adalah waktu yang istimewa. Umat Islam tidak hanya meningkatkan ibadah mereka, tetapi juga melakukan muhasabah, introspeksi atas apa yang telah dilakukan selama sebulan penuh. Prinsip yang sama dapat diterapkan dalam pengelolaan negara.
Bayangkan jika para pemimpin, pejabat publik, dan seluruh elemen masyarakat menggunakan momen ini untuk bertanya: Sudahkah anggaran kita dikelola dengan baik? Apakah ada dana yang seharusnya bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat luas? Apakah kebijakan fiskal sudah berpihak pada kesejahteraan rakyat?
Seperti halnya seorang muslim yang mengharapkan ampunan Allah di penghujung Ramadan, bangsa ini juga bisa menggunakan waktu dipenghujung ramadhan untuk merefleksikan kebijakan-kebijakan yang mungkin belum optimal, lalu melakukan perbaikan dengan tekad yang baru. Seringkali, masalah anggaran dianggap sebagai urusan pemerintah semata.
Pada kenyataannya, efisiensi anggaran adalah tanggung jawab kita semua. Setiap rupiah yang terbuang sia-sia berarti ada hak masyarakat yang tidak terpenuhi, ada fasilitas kesehatan yang tidak dibangun, ada beasiswa yang tidak diberikan, atau ada jalan yang tetap berlubang.
Sebagaimana i'tikaf mengajarkan kesederhanaan, kita juga harus belajar bahwa anggaran negara tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang mubazir. Jika seorang muslim menghindari makanan berlebihan dalam berbuka agar tidak sia-sia.
Maka negara pun harus menghindari pemborosan dalam belanja publik. Saatnya mengadopsi pola pikir bahwa setiap dana yang dialokasikan harus benar-benar memberi manfaat nyata bagi rakyat.
Konsep i'tikaf mengandung banyak nilai yang bisa diadopsi dalam tata kelola keuangan negara. Beberapa di antaranya adalah Pertama, Menghindari Pemborosan dan Fokus pada Prioritas.
Dalam ajaran Islam, pemborosan (israf) adalah sesuatu yang dilarang. Begitu juga dalam anggaran negara, setiap pengeluaran harus benar-benar ditimbang manfaat dan kebutuhannya.
Apakah program-program yang didanai benar-benar diperlukan? Apakah proyek-proyek yang dikerjakan memang berdampak bagi masyarakat luas? Jangan sampai ada anggaran yang dialokasikan untuk hal-hal yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Kedua, Refleksi dan Akuntabilitas. Sama seperti seorang Muslim yang melakukan refleksi selama i'tikaf, pejabat publik juga harus rutin mengevaluasi efektivitas kebijakan fiskal yang diambil. Anggaran yang sudah berjalan perlu terus dikaji agar dapat diperbaiki dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, Kesederhanaan dan Efisiensi. Dalam i'tikaf, seseorang hanya fokus pada hal-hal yang benar-benar esensial. Begitu pula dalam anggaran, dana publik seharusnya dialokasikan untuk sektor-sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang benar-benar berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
Mengaplikasikan I'tikaf Kebangsaan dalam Kebijakan Anggaran
Bagaimana konsep ini bisa diterapkan dalam kebijakan anggaran? Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, Membentuk Forum Evaluasi Kebijakan Publik. Pemerintah dapat menjadikan akhir Ramadhan sebagai waktu khusus untuk menggelar forum evaluasi tahunan mengenai penggunaan anggaran.
Forum ini harus melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, aktivis, dan masyarakat luas, dengan semangat refleksi dan perbaikan.
Kedua, Meningkatkan Transparansi dan Partisipasi Publik. Agar efisiensi anggaran dapat diwujudkan, masyarakat harus memiliki akses terhadap informasi penggunaan anggaran. Dengan begitu, rakyat dapat mengawasi dan memberikan masukan terhadap pengelolaan keuangan negara.
Ketiga, Menjadikan Kesederhanaan sebagai Teladan. Para pejabat dan pemimpin harus memberikan contoh dalam pola hidup sederhana dan efisien. Jika pemimpin mengutamakan penghematan dan efisiensi, maka hal ini akan menjadi budaya yang lebih luas dalam birokrasi dan pemerintahan.
Ramadan selalu menjadi waktu terbaik untuk introspeksi dan memperbaiki diri. Begitu juga dalam pengelolaan negara, akhir Ramadhan bisa menjadi momentum refleksi bagi kita semua bukan hanya dalam konteks ibadah pribadi, tetapi juga dalam kebijakan publik yang kita jalankan.
Konsep i'tikaf kebangsaan mengajak kita untuk lebih fokus pada hal-hal esensial dalam pengelolaan anggaran, menghindari pemborosan, dan mengedepankan transparansi serta akuntabilitas.
Dengan semangat Ramadan yang membawa keberkahan, kita bisa berharap bahwa efisiensi anggaran bukan hanya menjadi wacana, tetapi menjadi budaya yang nyata dalam pemerintahan kita.
Mari kita jadikan akhir Ramadan 1446 H ini sebagai titik balik untuk pengelolaan anggaran yang lebih baik. Seperti seorang Muslim yang berharap mendapatkan malam Lailatul Qadar di penghujung Ramadhan, mari kita juga berharap dan berusaha agar kebijakan anggaran kita membawa berkah dan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.
***
*) Oleh : Hasbi Ash Shiddiqi, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nurul Qarnain.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
______
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |