https://malang.times.co.id/
Opini

Demokrasi Algoritma

Selasa, 23 Desember 2025 - 16:08
Demokrasi Algoritma Mashudi, Pengurus IKatan Mahasiswa Raas (IMR).

TIMES MALANG, MALANG – Perdebatan tentang pilkada langsung atau tidak langsung kembali mengemuka. Di permukaan, isu ini tampak sederhana: biaya politik terlalu mahal, konflik sosial kerap berulang, dan energi publik terkuras setiap lima tahun. Namun jika ditelisik lebih dalam, persoalan sesungguhnya bukan sekadar soal mekanisme pemilihan, melainkan soal siapa yang kini mengendalikan demokrasi.

Dalam dua dekade terakhir, demokrasi elektoral mengalami pergeseran yang drastis. Hak pilih memang masih berada di tangan rakyat, tetapi kesadaran memilih tidak lagi sepenuhnya bebas. Ia dibentuk, diarahkan, bahkan direkayasa oleh kekuatan yang tak kasatmata: algoritma, buzzer, bot, dan kecerdasan buatan. Demokrasi tetap berjalan secara prosedural, tetapi substansinya perlahan terkikis.

Pemilihan langsung yang dulu dipuja sebagai puncak kedaulatan rakyat kini berubah menjadi arena pertarungan mesin politik. Ruang publik dibanjiri narasi instan, provokasi emosional, dan informasi manipulatif yang bekerja tanpa etika. 

Dialog politik digantikan oleh “blasting” pesan berulang, yang bukan untuk mendidik, tetapi untuk mengendalikan persepsi. Dalam situasi seperti ini, prinsip one man one vote kehilangan makna moralnya.

Masalahnya, mesin tidak memiliki nurani. Algoritma tidak mengenal nilai keadilan, kebenaran, atau tanggung jawab sosial. Ia hanya bekerja berdasarkan logika jangkauan, keterlibatan, dan keuntungan. Ketika logika ini dibiarkan menguasai demokrasi, maka yang muncul bukan kehendak rakyat, melainkan kehendak mereka yang menguasai modal, data, dan teknologi.

Namun, kegagalan demokrasi langsung bukan berarti demokrasi tidak langsung otomatis menjadi solusi. Sejarah menunjukkan bahwa pemilihan yang sepenuhnya diserahkan kepada elite juga rawan dibajak. 

Demokrasi bisa berubah menjadi transaksi tertutup, di mana rakyat hanya menjadi penonton dari keputusan yang menentukan hidup mereka. Oligarki tumbuh subur ketika kontrol publik dilemahkan.

Di titik inilah demokrasi Indonesia menghadapi dilema ganda. Di satu sisi, demokrasi liberal yang terlalu longgar membuka ruang manipulasi mesin. Di sisi lain, demokrasi elit yang terlalu tertutup membuka jalan bagi otoritarianisme. Keduanya sama-sama menjauhkan rakyat dari makna sejati kedaulatan.

Yang sering luput dari perdebatan adalah fakta bahwa demokrasi hari ini hidup di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya siap secara literasi politik dan informasi. Ketimpangan pengetahuan membuat publik rentan disesatkan oleh narasi digital yang dikemas rapi dan emosional. Demokrasi akhirnya menjadi lomba siapa paling kuat mengendalikan opini, bukan siapa paling mampu menawarkan gagasan.

Karena itu, perbaikan demokrasi tidak cukup hanya dengan mengganti mekanisme pemilihan. Perubahan prosedur tanpa pembenahan ekosistem politik hanya akan memindahkan masalah dari satu ruang ke ruang lain. Demokrasi langsung yang rusak tidak otomatis sembuh ketika menjadi tidak langsung; ia hanya berganti wajah.

Tantangan terbesar demokrasi saat ini adalah bagaimana mengembalikan politik ke tangan manusia. Kebebasan berbicara adalah hak dasar warga negara, tetapi kebebasan itu tidak boleh dibajak oleh mesin yang bekerja tanpa moralitas. AI, bot, dan buzzer bukan subjek demokrasi. Mereka tidak berdialog, tidak bertanggung jawab, dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban etik.

Negara seharusnya hadir sebagai pengatur, bukan sekadar penonton. Regulasi yang tegas terhadap penggunaan teknologi dalam politik adalah keniscayaan, bukan ancaman terhadap demokrasi. Justru tanpa aturan, demokrasi akan runtuh oleh kebebasan yang tak terkendali. Membiarkan mesin mendominasi ruang publik sama dengan menyerahkan masa depan politik kepada entitas tanpa nurani.

Di saat yang sama, inovasi politik perlu dibuka. Model demokrasi campuran, mekanisme seleksi yang lebih berlapis, serta pembatasan peran elite partai layak didiskusikan secara terbuka. Demokrasi tidak boleh membeku pada satu bentuk, tetapi harus adaptif terhadap perubahan zaman tanpa kehilangan prinsip dasarnya.

Namun, inovasi sebesar apa pun akan gagal jika tidak disertai keberanian moral. Demokrasi membutuhkan kejujuran, kedewasaan, dan kesadaran bahwa kekuasaan bukan sekadar kemenangan elektoral. Tanpa itu, demokrasi hanya menjadi panggung pencitraan yang dipoles teknologi.

Pertanyaan mendasarnya bukan apakah pilkada harus langsung atau tidak langsung. Pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah demokrasi masih menjadi ruang perjumpaan manusia yang bermartabat, atau sudah berubah menjadi medan permainan mesin?

Jika demokrasi terus dibiarkan dikuasai algoritma, biaya politik akan selalu mahal bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara moral dan peradaban. Dan ketika demokrasi kehilangan nilai kemanusiaannya, yang tersisa hanyalah prosedur kosong yang sah secara hukum, tetapi hampa secara makna.

***

*) Oleh : Mashudi Hamzah, Pengurus IKatan Mahasiswa Raas (IMR).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.