TIMES MALANG, PONTIANAK – Idul Fitri merupakan momen istimewa yang dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia sebagai penanda berakhirnya bulan Ramadan. Selain sebagai perayaan kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh, Idul Fitri juga menjadi waktu yang tepat untuk mempererat tali silaturahmi.
Tradisi lisan berupa ucapan selamat dan permintaan maaf menjadi bagian penting dalam perayaan ini. Kalimat seperti "Mohon maaf lahir dan batin" atau "Taqabbalallahu minna wa minkum" sering terdengar di berbagai kesempatan, baik dalam pertemuan langsung maupun melalui media digital.
Tradisi ini bukan sekadar formalitas, tetapi mencerminkan kekayaan budaya bahasa yang mengakar dalam masyarakat Indonesia.
Dalam Islam, menjaga hubungan baik dengan sesama manusia sangat dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi." (HR. Bukhari dan Muslim).
Ucapan selamat Idul Fitri, yang kerap diiringi dengan permintaan maaf, merupakan salah satu wujud nyata dari ajaran ini. Melalui bahasa, seseorang dapat menyampaikan niat baik, memperbaiki hubungan yang renggang, serta mempererat persaudaraan.
Kalimat sederhana namun sarat makna ini membangun suasana damai dan harmonis, mencerminkan esensi dari Idul Fitri sebagai hari kemenangan atas ego dan amarah.
Tradisi lisan dalam ucapan Idul Fitri juga memperlihatkan kekayaan ekspresi budaya yang beragam. Di Indonesia, masyarakat di berbagai daerah memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan salam hari raya.
Misalnya, masyarakat Betawi menggunakan ungkapan "Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin," sementara di daerah lain mungkin memiliki variasi bahasa daerah yang tetap mencerminkan makna yang sama. Keberagaman ini mencerminkan kekuatan bahasa sebagai alat untuk memperkuat identitas budaya sekaligus mempererat hubungan sosial.
Di era digital saat ini, ucapan Idul Fitri tidak hanya disampaikan secara langsung, tetapi juga melalui pesan singkat, media sosial, atau video call. Kendati perantaranya berubah, esensi dari ucapan tersebut tetap terjaga. Namun, penting untuk diingat bahwa komunikasi melalui media digital memerlukan kehati-hatian dalam memilih kata.
Menggunakan bahasa yang santun dan menghormati perasaan orang lain merupakan bentuk nyata dari menjaga adab dalam berkomunikasi. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, tradisi lisan dalam ucapan selamat Idul Fitri sebaiknya tetap dipertahankan dan dimaknai secara mendalam. Setiap kalimat yang terucap menjadi simbol dari niat tulus untuk memperbaiki hubungan, memaafkan kesalahan, dan merajut kembali tali persaudaraan yang mungkin sempat renggang.
Dalam konteks ini, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jembatan yang menghubungkan hati dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.
Dengan menjaga tradisi ini, kita tidak hanya merayakan Idul Fitri sebagai perayaan lahiriah, tetapi juga sebagai momentum spiritual untuk kembali kepada fitrah kemanusiaan yang penuh kasih sayang dan kedamaian.
***
*) Oleh : Fitri Jayanti, M.Pd., Dosen Prodi Ekonomi Syariah, Falkultas Ekonomi dan Bisnis IAIN Pontiank.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |