https://malang.times.co.id/
Opini

Perlawanan Perempuan atas Eksploitasi Oligarki dalam Industri Pertambangan

Kamis, 27 Maret 2025 - 12:44
Perlawanan Perempuan atas Eksploitasi Oligarki dalam Industri Pertambangan Nafa Latif Vani, Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember

TIMES MALANG, BALI – Terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba (Mineral dan Batubara) tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mempermudah investasi. Tetapi juga sebagai instrumen untuk memperkuat dominasi oligarki yang terus mengeksploitasi alam dan rakyat.

Klaim pembangunan yang digaungkan oleh negara dan perusahaan tambang, hanyalah kedok untuk memperpanjang tekanan kapitalisme yang menguntungkan segelintir elit. Padahal di sisi lain, telah menghancurkan ekosistem dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.

Di tengah ekspansi industri pertambangan yang masif. Ekofeminisme muncul sebagai bentuk perlawanan perempuan terhadap sistem yang menindas dan mengabaikan keberlanjutan alam.

Industri Pertambangan

Maraknya aktivitas pertambangan telah banyak menyumbangkan data kerusakan alam, termasuk tambang nikel di Sulawesi Selatan. Sebagaimana laporan WALHI ada sekitar 4.449,2 hektare hutan hujan di Sulawesi Selatan telah rusak akibat pertambangan nikel, sehingga dampaknya Danau Mahalona terkontaminasi lumpur tambang. 

Kerusakan ini berimbas langsung pada kehidupan masyarakat yang sebagian besar bergantung pada sumber daya alam. Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor semakin memperburuk situasi ini, terlebih menempatkan perempuan menjadi kelompok paling rentan menghadapi dampak dari krisis ekologis tersebut. 

Namun, di balik kisah kerusakan ini ada kisah perlawanan yang sengaja disembunyikan. Perempuan-perempuan adat di Sulawesi Selatan terus berjuang, meskipun dihadapkan pada tantangan yang sangat berat.

Berjuang menghentikan eksploitasi yang terus-menerus mengancam lingkungan dan mewujudkan sistem yang melestarikan alam.

Ancaman bagi Perempuan dan Alam

Ketika membicarakan tambang di Sulawesi Selatan, kita berbicara tentang kekuasaan yang dimainkan oleh sekelompok orang (oligarki) yang berpura-pura membawa kesejahteraan melalui janji lapangan pekerjaan dan pembangunan.

Namun, kenyataannya telah meninggalkan jejak kehancuran yang tak terhitung, baik mulai dari deforestasi hingga pencemaran lingkungan yang mengakibatkan ketidaksetaraan sosial dan ekologis. 

Industri pertambangan nikel yang merusak hutan-hutan di Sulawesi Selatan adalah contoh nyata dari ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat, terutama perempuan yang bergantung pada alam untuk bertahan hidup.

Perempuan di Sulawesi Selatan telah lama menjalin hubungan intim dengan alam. Di mana mengandalkan hutan untuk kebutuhan pangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup sehari-hari.

Tetapi dengan hadirnya pertambangan justru telah mengancam hutan-hutan tersebut. Alam yang dulu menjadi sumber kehidupan, kini berubah menjadi komoditas yang dieksploitasi tanpa henti.

Seruan untuk Keadilan Sosial dan Ekologis

Pertambangan yang telah mengancam kehidupan perempuan dan alam. Vandana Shiva mengajukan pemikiran ekofeminisme dalam telaah kritis etika ekofeminis yang terdapat pada buku berjudul: “Perjuangan Perempuan Mencari Keadilan dan Menyelamatkan Lingkungan” (Suliantoro dan Murdiati, 2019). 

Buku tersebut mengungkapkan bahwa hubungan eksploitasi alam dengan ketidaksetaraan gender tumbuh subur dalam sistem kapitalisme dan patriarki. Alam dan perempuan dipandang sebagai objek yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Padahal keduanya adalah pilar keberlanjutan hidup. 

Dalam perspektif ekofeminisme perjuangan untuk keadilan ekologis bertujuan untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan. Terlebih pada perempuan adat yang sering kali menjadi korban utama dari kebijakan-kebijakan yang meminggirkan ruang hidupnya.

Ekofeminisme menjadi bentuk perlawanan nyata terhadap oligarki yang merusak alam dan menghancurkan kehidupan perempuan. Perempuan-perempuan adat yang menjadi penggerak utama perlawanan telah mengorganisir diri untuk melawan kekuatan oligarki yang ingin menguasai tanah adat.

Seperti contoh di Loeha Raya, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Perempuan-perempuan adat telah membentuk jaringan perlawanan yang menuntut hak atas tanahnya dihormati dan dikembalikan.

Menggugat Kekuasaan, Merayakan Kehidupan

Ekofeminisme bukanlah sekadar teori akademis, melainkan seruan untuk aksi nyata. Gerakan perempuan di Sulawesi Selatan melawan kekuasaan oligarki pertambangan merupakan perjuangan untuk keadilan sosial yang lebih besar. Keadilan yang menuntut penghentian eksploitasi terhadap alam dan perempuan.

Perlawanan terhadap sistem kapitalis yang menganggap alam dan perempuan sebagai objek yang bisa dimanfaatkan semata. Ekofeminisme menyerukan perubahan secara berlanjut di mana perempuan dan alam dihargai, bukan hanya tujuan utama keuntungan saja.

Pada akhirnya ekofeminisme menjadi panggilan untuk menggugat kekuasaan yang merusak alam, agar bisa merayakan keadilan sejati dan menghormati semua bentuk kehidupan. 

***

*) Oleh : Nafa Latif Vani, Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.