https://malang.times.co.id/
Opini

Diplomasi Malang yang Belum Tuntas

Rabu, 25 Juni 2025 - 19:00
Diplomasi Malang yang Belum Tuntas Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

TIMES MALANG, MALANG – Di tengah musim kemarau yang mulai menjelang, wacana penghentian pasokan air dari Kabupaten Malang ke Kota Malang kembali mencuat. DPRD Kabupaten Malang menyuarakan kegelisahan klasik: ketimpangan kontribusi dan ketertutupan akses pengukuran air oleh PDAM Kota Malang. 

Tak pelak, hal ini memantik diskursus publik: apakah langkah memutus aliran air adalah bentuk perjuangan keadilan daerah, atau justru potensi pemantik konflik antarwilayah?

Pertanyaan mendasarnya: mengapa air yang sejatinya sumber kehidupan justru menjadi sumber ketegangan?

Isu ini memang tidak berdiri sendiri. Masyarakat Kabupaten Malang, terutama yang tinggal di sekitar TPA Supit Urang, mengeluhkan pencemaran yang disebabkan pengelolaan sampah Kota Malang. 

Bau menyengat, lalat, dan perubahan warna air menjadi bagian dari keluhan yang tidak bisa disepelekan. Mereka merasa menanggung beban dari "kemajuan kota" yang tidak mereka nikmati sepenuhnya.

Namun, benarkah memutus aliran air adalah jalan keluar yang adil dan bijaksana?

Langkah tersebut, jika benar-benar diwujudkan, bisa menjadi bumerang yang menyulut krisis sosial. Bayangkan jika pasokan air dihentikan, puluhan ribu warga kota akan terdampak. Anak-anak sekolah, rumah sakit, bahkan usaha kecil akan terganggu. 

Belum lagi kemungkinan meningkatnya ketegangan antar masyarakat akar rumput dua wilayah yang sejatinya punya ikatan sejarah dan budaya yang erat.

Bukankah lebih bijak jika DPRD dan pemerintah dua daerah ini duduk bersama, membangun kesepakatan berbasis transparansi dan gotong royong?

Kebutuhan Kabupaten Malang akan akses pengukuran air dan kontribusi yang adil harus dihargai sebagai hak. Begitu pula hak warga Kota Malang atas akses air bersih tidak bisa diperlakukan sebagai ‘kartu tawar-menawar’ politik. Ini bukan hanya soal teknis pengelolaan air, tetapi tentang etika dalam membangun relasi antarwilayah yang berkelanjutan.

Kita perlu menggeser narasi ini dari "siapa yang layak mendapatkan apa" menjadi "bagaimana kita saling menjaga dan berbagi". Bukankah air yang mengalir dari Wendit sejatinya adalah berkah bagi semuanya? Maka pengelolaannya pun harus berbasis semangat kolaboratif, bukan kompetitif.

Jika problemnya adalah ketidakterbukaan, mari buka ruang transparansi. Jika problemnya adalah kontribusi, mari duduk dan hitung bersama. Tapi jika problemnya adalah ego politik, maka yang dikorbankan adalah warga yang seharusnya dilindungi.

Hari ini, kita tidak kekurangan regulasi. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk mempraktikkan etika tata kelola sumber daya secara adil. Dan jika air bisa menjadi cermin, maka beningnya harus merefleksikan niat baik dari setiap pemangku kebijakan.

Karena dalam urusan air, yang mengalir tak sekadar sumber kehidupan, tapi juga uji integritas kita sebagai bangsa yang mengaku beradab.

***

*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.