https://malang.times.co.id/
Opini

Menimbang Ulang Barak Militer untuk Pendidikan Anak

Senin, 02 Juni 2025 - 11:48
Menimbang Ulang Barak Militer untuk Pendidikan Anak Sukman, Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum, Universitas Islam Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Belakangan ini, publik dikejutkan oleh kebijakan kontroversial Gubernur Jawa Barat yang mengusung pendekatan ala militer dalam menangani siswa bermasalah.

Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 43/PK.03.04/KESRA tentang “9 Langkah Pembangunan Pendidikan Jawa Barat Menuju Terwujudnya Gapura Panca Waluya”. 

Salah satu poinnya menyebut bahwa peserta didik yang terlibat dalam perilaku menyimpang seperti tawuran, balapan liar, mabuk, atau merokok akan dibina secara khusus melalui kerja sama antara pemerintah daerah dan jajaran TNI-Polri, setelah mendapat persetujuan dari orang tua.

Respons publik pun terbelah. Sebagian pihak menganggap kebijakan ini sebagai terobosan untuk memperkuat karakter dan kedisiplinan remaja. Dukungan datang, misalnya, dari tokoh HAM Natalius Pigai yang menilai program ini positif selama tidak melibatkan kekerasan fisik. 

“Selama tidak ada corporal punishment, dan hanya melatih tanggung jawab, disiplin, dan karakter, maka itu tidak melanggar HAM,” ujarnya.

Namun, tidak sedikit pula yang menilai kebijakan ini problematik, bahkan berbahaya. Akademisi dari Universitas Airlangga, Zendy Wulan Ayu Prameswari, mengingatkan bahwa pendekatan barak militer bisa melanggar prinsip dasar Konvensi Hak Anak. 

Anak adalah subjek hukum yang harus dijaga hak hidup, perkembangan, dan martabatnya. Sementara pendekatan militer cenderung mengedepankan logika penundukan dan kekerasan struktural, bukan pendidikan yang mendidik secara humanistik.

Kritik lebih keras datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, menilai program ini rawan menimbulkan stigmatisasi. 

“Labelisasi ‘anak nakal’ jelas bertentangan dengan semangat non-diskriminasi dan kepentingan terbaik bagi anak,” tegasnya. 

Pendidikan tidak boleh mengasingkan anak, apalagi menjebaknya dalam sistem disipliner yang menyerupai hukuman militer.

Dalam kerangka hukum, kebijakan ini juga memunculkan pertanyaan serius. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan jelas menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang dalam lingkungan yang aman, bebas dari kekerasan dan diskriminasi. 

Pasal 59 ayat (2) huruf n secara tegas menyebut bahwa anak dengan perilaku menyimpang harus mendapatkan perlindungan khusus, bukan justru diarahkan ke ruang yang berpotensi memperburuk kondisi psikologisnya.

Gubernur sebagai kepala daerah punya tanggung jawab moral dan yuridis untuk menjamin perlindungan anak. Jika pendekatan yang digunakan justru menempatkan anak dalam situasi yang berisiko kekerasan-meski tanpa niat eksplisit untuk menyakiti-maka itu tetap melanggar prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 76C UU Perlindungan Anak.

Dalam perspektif teori sosial, kebijakan ini juga dapat dianalisis melalui kacamata disciplinary power dari Michel Foucault. Negara, melalui institusi pendidikan dan militer, berpotensi mengobjektifikasi anak sebagai sosok yang harus “dinormalisasi” sesuai standar kekuasaan dominan. 

Di sinilah letak bahaya kebijakan: ia tidak hanya mengabaikan hak anak, tapi juga memperkuat logika penghukuman ketimbang penyembuhan.

Meskipun niat awal Gubernur Jawa Barat mungkin baik-ingin membina dan menyelamatkan generasi muda dari perilaku menyimpang-namun pendekatan yang digunakan mesti dikaji ulang. Barak militer bukanlah ruang tumbuh anak-anak. Pendidikan harus mengedepankan pendekatan restoratif dan transformatif, bukan represif.

Sudah saatnya kita belajar dari banyak negara yang sukses membina anak bermasalah tanpa harus mengintervensi mereka dengan pendekatan koersif. 

Rehabilitasi berbasis komunitas, konseling keluarga, pendidikan karakter yang empatik, serta keterlibatan guru dan lingkungan sekolah jauh lebih sesuai dengan semangat perlindungan anak yang komprehensif.

Membina anak tidak bisa dengan cara menundukkan mereka. Harus ada ruang dialog, kasih sayang, dan pemulihan. Negara seharusnya hadir bukan sebagai algojo moral, tetapi sebagai pelindung tumbuh kembang anak-anaknya. 

Pendekatan militer bagi anak bermasalah, betapapun niatnya baik, tetap harus ditolak jika menafikan prinsip perlindungan anak dan mengikis martabat kemanusiaan mereka.

***

*) Oleh : Sukman, Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum, Universitas Islam Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.