TIMES MALANG, MALANG – Di era banjir informasi seperti hari ini, komunikasi publik justru kian kehilangan substansinya. Setiap hari publik disuguhi pernyataan pejabat, konferensi pers, unggahan media sosial, hingga baliho yang bertebaran di sudut kota.
Komunikasi berlangsung nyaris tanpa henti. Namun anehnya, kepercayaan publik tak kunjung tumbuh. Yang terjadi justru sebaliknya: skeptisisme, sinisme, dan kelelahan informasi.
Masalahnya bukan pada kurangnya komunikasi, melainkan pada cara komunikasi itu dijalankan. Komunikasi publik kita terlalu sering dipahami sebagai aktivitas menyampaikan pesan, bukan membangun pemahaman.
Yang penting bicara, bukan didengar. Yang penting tampil, bukan dipahami. Akibatnya, komunikasi berubah menjadi monolog panjang yang jauh dari denyut kebutuhan masyarakat.
Banyak pejabat merasa telah berkomunikasi dengan baik hanya karena rajin tampil di media. Padahal publik tidak sekadar membutuhkan pernyataan, tetapi kejelasan. Ketika kebijakan lahir tanpa penjelasan yang jujur dan utuh, komunikasi hanya berfungsi sebagai penutup celah, bukan jembatan kepercayaan.
Bahasa yang digunakan pun sering kali menjauhkan. Istilah teknokratis, kalimat normatif, dan narasi pencitraan lebih dominan dibanding bahasa yang membumi. Publik dipaksa memahami bahasa kekuasaan, alih-alih negara yang menyesuaikan diri dengan bahasa warganya. Di sinilah jarak mulai terbentuk jarak antara kebijakan dan realitas, antara penguasa dan yang dikuasai.
Komunikasi publik juga kerap reaktif. Ia baru aktif ketika krisis muncul. Saat masalah meledak, barulah pernyataan disusun, klarifikasi dibuat, dan konferensi pers digelar. Namun sering kali, yang disampaikan justru pembelaan, bukan penjelasan. Alih-alih meredakan situasi, komunikasi seperti ini justru memantik kecurigaan baru.
Lebih dari itu, komunikasi publik hari ini terlalu sibuk mengelola persepsi, bukan mengelola kebenaran. Yang dirawat bukan transparansi, tetapi citra. Kesalahan ditutup dengan narasi, kritik dijawab dengan slogan, dan pertanyaan publik dialihkan dengan isu lain. Dalam jangka pendek, strategi ini mungkin efektif. Namun dalam jangka panjang, ia menggerogoti kepercayaan yang sulit dipulihkan.
Media sosial memperparah situasi. Platform yang seharusnya membuka ruang dialog justru sering dijadikan panggung satu arah. Komentar publik dibiarkan, aspirasi tak dijawab, kritik dianggap serangan. Akhirnya, komunikasi digital hanya menjadi etalase aktivitas, bukan ruang partisipasi.
Di sisi lain, masyarakat juga menghadapi kebingungan. Informasi datang bertubi-tubi, tetapi tidak selalu utuh. Pernyataan antarpejabat sering tidak sinkron. Satu mengatakan A, yang lain membantahnya. Publik dipaksa menafsirkan sendiri, sementara kejelasan tak pernah benar-benar hadir. Dalam situasi seperti ini, hoaks tumbuh subur, bukan karena masyarakat gemar mempercayai kebohongan, tetapi karena negara gagal menyediakan penjelasan yang kredibel.
Komunikasi publik sejatinya adalah soal etika. Ia menuntut kejujuran, konsistensi, dan empati. Berkomunikasi dengan publik bukan soal terlihat pintar, melainkan terlihat tulus. Bukan soal memenangkan opini, tetapi membangun kepercayaan. Tanpa itu, komunikasi hanya menjadi kebisingan.
Pemerintah, lembaga publik, dan pejabat perlu menyadari bahwa publik hari ini jauh lebih kritis. Mereka tidak lagi menelan informasi mentah-mentah. Mereka membandingkan, memverifikasi, dan menilai. Ketika komunikasi tidak jujur, publik akan mencari sumber lain. Ketika negara absen, ruang itu akan diisi oleh spekulasi.
Sudah saatnya komunikasi publik diarahkan kembali pada fungsi dasarnya: menjelaskan, bukan mengaburkan; mendengar, bukan sekadar berbicara; melayani, bukan menggurui. Komunikasi harus dibangun sejak awal kebijakan dirancang, bukan hanya saat kebijakan menuai protes.
Transparansi bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Mengakui keterbatasan bukan aib, melainkan bentuk kedewasaan. Publik lebih menghargai kejujuran daripada kesempurnaan semu. Di situlah komunikasi menemukan maknanya.
Jika komunikasi publik terus dijalankan sebagai alat pencitraan, maka jangan heran jika publik semakin apatis. Namun jika ia dijalankan sebagai jembatan dialog, kepercayaan bukan hal yang mustahil. Sebab pada akhirnya, komunikasi yang baik bukan tentang siapa yang paling lantang berbicara, tetapi siapa yang paling mampu dipahami.
***
*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |