TIMES MALANG, MALANG – Salah satu konsep yang cukup mendasar dalam kehidupan adalah bersyukur. Tentang bagaimana mengungkapkan rasa syukur ini sudah kita pahami dan merepresentasikan rasa syukur serta implikasinya perlu kita latih setiap saat dan dimana saja. Itulah setidaknya apa yang bisa kita maknai dari berbagai rangkaian ibadah pada bulan ramadan ini. Yaitu rasa syukur.
Salah satu menerjemahkan rasa syukur ini adalah bagaimana kita memaknai ramadan yang kita laksanakan ini dengan mengenal tentang diri yang implikasinya guna peningkatan derajat ketakwaan manusia.
Konsep pengenalan diri ini merupakan gerbang untuk lebih mengenal Tuhan melalui sifat-sifat-Nya yang termaktub dalam kitab suci, sebagaimana ungkapan "Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya".
Momen puasa inilah kita sebagai umat manusia diajak untuk lebih melihat ke dalam diri melalui berbagai ritus dan kegiatan ibadah di bulan ramadan. Mulai dari sahur, tidak makan-minum selama rentang waktu tertentu, tadarus, tarawih, zakat dan berbagai amalan di bulan ramadan.
Kesemuanya itu akan bermuara kepada bagaiman kita lebih memahami kondisi kita baik kondisi jasmani maupun rohani sehingga ada peningkatan kualitas diri. Inilah mengapa Tuhan “memaksa” kita untuk melakukan puasa selama bulan Ramadan. Manusia diajak berkontemplasi tentang siapa dirinya.
Ada satu sifat yang membedakan manusia dengan sang pencipta. Yaitu adanya batas atau limitasi. Apapun yang melekat pada manusia selalu memiliki batas dan terbatas. Baik itu dalam konteks ruang, waktu lebih jauh pada dimensi. Inilah yang membedakan mahluk dan pencipta.
Dalam konteks ini kita ambil bahwa batas yang dimiliki manusia dikonotasikan sebagai “limit”. Mungkin semua sepakat bahwa secara bahasa Limit bisa diartikan sebagai "ambang batas".
Misalnya, ketahanan suatu mesin adalah 10 tahun, artinya mesin tersebut dapat beroperasi dengan baik manakala dioperasikan sesuai dengan buku petunjuk yang ada adalah 10 tahun, diatas 10 tahun mesin tidak berfungsi maksimal.
Kalau dalam ilmu matematika, konsep limit digunakan untuk menjelaskan sifat dari suatu fungsi f(x), artinya saat argumen (x) mendekati ke suatu titik ( c ), atau tak hingga ( ~ ); atau sifat dari suatu barisan saat indeks mendekati tak hingga, maka ada kecenderungan suatu fungsi f(x) akan mendekati suatu titik (L) atau menuju bilangan yang sangat besar (~) atau sangat keci ( - ~ ).
Salah satu makna jika kita tarik dalam konteks kehidupan sehari-hari adalah, apapun yang ada pada manusia itu selalu memiliki batas dan selalu memilili kecenderungan (selanjutnya ini yang disebut dengan sifat). Kembali lagi kita bisa mengatakan manusia memiliki Limitasi, sebaliknya Tuhan yang Maha pasti tidak punya Limitasi.
Manusia perlu memahami tentang Limitasi dirinya, Limitasi pemahaman, Limitasi Laku, limitasi kebaikan dan seterusnya. Selanjutnya salah satu tugas manusia adalah untuk melebarkan limitasi ini.
Akan tetapi perlu diingat meski sejauh apapun manusia melebarkan (dalam arti memperbesar atau memperkecil) semuanya pasti akan menuju kepada sebuah titik yang dikatakan batas dan selanjutnya akan menjadi sifat manusia.
Selama manusia masih dikatakan hidup, pasti punya Limitasi. Bayangkan jika kita tidak punya Limitasi. Contohnya kita bisa mengetahui apa yang orang lain pikirkan terhadap kita, akibatnya tidak akan bisa bergaul satu sama lain.
Inilah mengapa Tuhan menciptakan Limit dalam setiap lini kehidupan kita yang ditanam dalam diri manusia (ada pada pikiran dan jiwa manusia). Yang selanjutnya manusia itu diminta untuk memahami Limit itu sendiri sebagai bekal bercermin tentang ke-aku-annya.
Disinilah Tuhan melalui puasa selama bulan ramadhan dan dilanjutkan dengan diluar bulan ramadhan meminta manusia untuk sejenak merenungkan tentang siapa dirinya. Proses menahan diri dari hal yang disukai dan diperbolehkan dalam rentang waktu tertentu.
Mengajarkan kita bahwa tidak semua hal yang kita sukai dan diperbolehkan dalam agama bisa kita nikmati tanpa batas. Karena sesuatu yang tanpa batas akan menimbulkan kemudharatan dan berujung kepada kesia-siaan. Ini berakibat kepada kerusakan baik pada diri sendiri terlebih kepada lingkungan.
Ini memberi pemahaman kepada kita bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Baik itu yang sifatnya jasmani terlebih kepada sifat dan karakter manusia. Misalnya, ada manusia yang tidak bisa mengkonsumsi nasi dalam jumlah tertentu. Jika ini dipaksanakn akan ada kerusakan dalam sistem metabolisme tubuhnya.
Ini tidak bisa disama ratakan kepada manusia lain, karena kembali lagi ada perbedaan kecenderungan tubuh menerima zat tertentu. Ini salah satu bagaimana kita harus mengenali diri dari sifat fisik manusia. Lebih jauh bagaimana kita perlu bersinergi dengan berbagai sifat dan karakter manusia lain sehingga kita bisa hidup selaras dan seimbang.
Disinilah Tuhan mewajibkan puasa selama bulan ramadhan dan kita diminta untuk mengisi berbagai kegiatan positif yang berujung kepada bagaimana kita lebih mengenali diri kita.
Terutama siapa kita, untuk apa di dunia ini dan akan kemana kita setelah di dunia ini. Sehingga kita bisa menjadi manusia yang mampu memanifestasikan "Ahsani Taqwim".
***
*) Oleh : Edi Sutomo, Guru Matematika MAN 2 Kota Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |