TIMES MALANG, MALANG – Pemilu merupakan ajang politik yang dilakukan oleh negara untuk setiap lima tahunnya. Ajang tersebut merupakan pentas politik yang dikonsepkan untuk memunculkan pemimpin-pemimpin profesional.
Profesionalitas pejabat partai yang akan diajangkan menjadi acuan elektoral dalam mempertimbangkan siapa yang mampu dan berhak untuk memimpin daerahnya. Sehingga profesionalitas calon pemimpin politik harus dimiliki secara organik maupun akademik. Mengingat pemimpin politik perlu membawa daerahnya menuju kesejahteraan sebenarnya.
Tahun 2024 mendatang merupakan ajang politik yang terlegalkan bagi pejabat partai yang telah masuk dalam daftar calon legislatif maupun eksekutif. Dalam mempromosikan bahwa dirinya layak untuk dipilih. KPU telah mengakomodir mereka melalui mekanisme terstruktur, yaitu Kampanye Politik.
Sesuai informasi teknis penyelenggaraan kampanye pemilu oleh KPU, kampanye dapat dilakukan dari tanggal 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, sehingga akumulasi hari calon aktor politik dapat dikatakan cukup. Tentu kesempatan tersebut merupakan lahan bagi calon kandidat dalam meningkatkan elektabilitas mereka, terutama bagi caleg amatiran yang minim akan elektoral.
Pada masa-masa ini, intensitas atmostfer perpolitikan akan mengalami gairah cukup tinggi. Massa publik disuguhkan dengan informasi tentang calon kandidat secara garis besar maupun secara mendalam. Katakanlah daerah saya di Kota Batu, sudah ada beberapa pamflet profil calon kandidat mulai terpampang disepanjang jalan.
Ada pula yang menggunakan media sosial sebagai pengenalan atau pendekatan secara virtual. Kondisi ini sudah menjadi tradisi ketika aroma pemilu sudah mendekati titik kulminasi. Maka tidak heran ketika ajang pemilihan biasa dianggap pesta besar-besaran.
Saat ini, kita sebagai pemilih sering dihadapkan dengan banyaknya calon kandidat malah juga mempersulit dalam memilah siapa yang pantas untuk terjun didunia trias politica. Maka dari itu, diperlukan teknik pemilihan secara rasional dari individu pemilih untuk memaksimalkan proses pemilihan.
Teori pilihan rasional sebelumnya telah digagas oleh Anthony Downs pada tahun 1957 melalui bukunya “An Economic Theory of Democracy”, yang berupaya menjabarkan perilaku elektoral mengambil pekerjaan dalam berkontribusi dilingkungan ekonomi politik sebagai titik awalnya.
Landasan sederhananya apabila pilihan rasional mampu menjelaskan pasar, maka mereka juga mampu menjelaskan fungsi politik. Terdapat tiga premis yang menjadi benang merah atas rasionalitas yang digagas oleh Anthony Downs, yaitu
Pertama, seluruh tindakan atau keputusan-keputusan dari pemilih maupun partai politik adalah hasil rasionalitas, dalam maksud semua berorientasi pada kepentingan pribadi dan dimaksimalkan melalui tindakan utilitas.
Sebagai pemilih, hak memilih merupakan prestise sebagai warga negara. Maka pemilih mampu menganalogikan bahwa pemilihan berfungsi untuk memilih pemerintahan dan akibatnya kedepan.
Kedua, ketika menginjak pada ranah rasionalitas. Sistem politik demokrasi menyiratkan konsistensi dengan prediksi tentang keputusan yang dibuat oleh pemilih dan partai politik. Pilihan rasional, melibatkan kemampuan dalam membandingkan perilaku individu, parpol dan pemerintah.
Sebagai pemilih, indikator dalam mempertimbangkan pemilihan dapat dilakukan dengan melihat kinerja pemerintah sebelumnya. Ketika incumbent kembali mendelegasikan untuk turut dalam kepemiliuan, maka indikator capaian yang selama menduduki sistem pemerintahan.
Apakah dapat menciptakan iklim yang baik ataukah sebaliknya. Kemudian jika indikator bagi oposisi yang baru memulai dalam sistem kepemiluan, maka pemilih mampu memetakan visi-misi sekaligus apa saja yang perlu dilakukan oleh oposisi ketika menduduki kursi jabatan.
Kondisi ini memang cukup kompleks mengingat bahwa ketika memilih secara rasional, pertimbangan-pertimbangan dari makna kepemiluan perlu diperhatikan.
Kemudian Antony Downs menyatakan bahwa keragaman masyarakat dan konflik sosial memperkenalkan tingkat ketidakpastian yang mengarah pada munculnya ideologi dan ambiguitas dengan kelompok sosial dalam memenangkan elektoral.
Secara sederhana, masyarakat saat ini terdiri dari berbagai lapisan dan orientasi yang berbeda. Sehingga teori rasional menawarkan bahwa pemilih lebih memprioritaskan tindakan nyata daripada ideologi, maka kembali lagi bahwa usaha dalam memahami dan mengevaluasi konsekuensinya.
Terkadang ideologi mampu menggeneralisasikan sebagian variabel-variabel dari tujuan kandidat untuk maju ke pentas demokrasi. Tetapi teori rasional menawarkan bahwa kondisi ini dapat bertolak belakang ketika kerja nyata yang tercipta melalui visi-misi dapat menjadi pertimbangan yang cukup logis bagi pemilih.
Disisi lain jika tetap berorientasi pada ideologi sebuah partai, maka perbandingan ini cukup relevan ketika indikator-indikator konkrit dapat menjadi proyeksi yang memuaskan.
Pada hakikatnya, pemilih rasional merupakan keniscayaan atas dibentuknya negara demokrasi.
Mandat dari rakyat untuk pejabat pada akhirnya agar memaksimalkan utilitas sistem demokratis yang utopis. Maka, tingkat rasionalitas pemilih seyogyanya mampu dipupuk secara perlahan hingga hari pencoblosan, agar menghasilkan sistem pemerintahan yang utopian.
***
*) Oleh: Muhammad Wahyu Prasetyo Adi, Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik, Universitas Brawijaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |