TIMES MALANG – Kebijakan baru dari pemerintah Amerika Serikat yang menetapkan tarif impor sebesar 32% terhadap produk-produk asal Indonesia telah menimbulkan gelombang kekhawatiran di berbagai sektor. Meskipun tarif ini secara langsung menyasar sektor perdagangan dan industri, dampaknya juga menjalar ke sektor lain yang tampaknya tidak berkaitan secara langsung, termasuk pendidikan.
Dalam konteks Indonesia, sektor pendidikan terutama pendidikan tinggi dan vokasi berada dalam posisi yang rentan menghadapi tekanan ekonomi akibat kebijakan eksternal seperti ini.
Peningkatan tarif sebesar 32% ini merupakan kenaikan yang sangat signifikan dibandingkan bea masuk rata-rata sebelumnya yang berkisar 5–10%. Produk Indonesia yang terdampak antara lain tekstil, alas kaki, furnitur, dan elektronik ringan. Sektor-sektor tersebut merupakan penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, termasuk lulusan perguruan tinggi vokasi dan politeknik.
Ketika ekspor dari sektor-sektor ini terganggu, potensi pemutusan hubungan kerja pun meningkat, yang pada akhirnya mempersempit lapangan kerja bagi lulusan baru. Dalam jangka pendek, hal ini menyebabkan over-supply tenaga kerja berpendidikan yang tidak terserap pasar.
Secara fiskal, pemerintah Indonesia juga akan menghadapi tekanan. Menurunnya pendapatan negara dari sektor ekspor, melemahnya nilai tukar rupiah, dan melambatnya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan diperkirakan akan membuat alokasi anggaran lebih ketat.
Dalam kondisi seperti ini, anggaran untuk sektor pendidikan yang selama ini kerap menjadi target efisiensi anggaran bisa mengalami pemangkasan. Beberapa skenario yang sedang dipertimbangkan termasuk pengurangan dana riset, pemotongan program beasiswa, hingga pembatasan subsidi operasional kampus negeri.
Salah satu dampak konkret yang mulai terasa adalah terhambatnya program riset kolaboratif dengan universitas di Amerika Serikat. Banyak proyek penelitian dan pertukaran akademik didanai oleh hibah luar negeri atau melalui kerja sama bilateral.
Dengan meningkatnya ketegangan dagang dan kemungkinan menurunnya hubungan diplomatik, banyak dari program ini menjadi tertunda atau bahkan dibatalkan. Hal ini tentu berdampak pada kualitas riset dan publikasi ilmiah di tanah air.
Tak hanya itu, sekolah vokasi dan politeknik yang sangat tergantung pada kemitraan dengan industri khususnya perusahaan yang berorientasi ekspor juga mengalami gangguan.
Ketika industri mengalami kontraksi, peluang magang dan pelatihan di tempat kerja bagi siswa pun menjadi lebih terbatas. Akibatnya, lulusan tidak mendapatkan pengalaman praktis yang memadai, yang pada gilirannya menurunkan daya saing mereka di pasar kerja.
Di sisi lain, pemerintah sebenarnya telah mulai merancang langkah-langkah mitigasi untuk menahan dampak lanjutan dari kebijakan ini. Beberapa kebijakan yang sedang dikaji meliputi peningkatan insentif untuk sektor pendidikan vokasi, relokasi pasar ekspor ke kawasan Asia dan Afrika, serta stimulus fiskal untuk mempertahankan daya beli masyarakat. Namun demikian, efektivitas langkah-langkah ini masih harus diuji dalam beberapa bulan ke depan.
Sektor pendidikan kerap dianggap sebagai investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa. Namun, saat tekanan ekonomi datang, pendidikan sering kali menjadi korban pertama pemangkasan anggaran.
Kebijakan tarif ini menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk segera merancang sistem pendidikan yang lebih tahan terhadap guncangan eksternal. Diversifikasi pasar kerja lulusan, penguatan kerja sama antarnegara di luar Amerika Serikat, serta transformasi digital di sektor pendidikan bisa menjadi kunci untuk bertahan dalam kondisi ketidakpastian global.
Tarif 32% mungkin terdengar seperti masalah perdagangan semata, tetapi nyatanya ia telah membuka banyak celah krisis di sektor yang lebih luas. Jika tidak dikelola dengan tepat, maka bukan hanya industri yang terpukul, tetapi juga masa depan generasi muda Indonesia yang tengah menempuh pendidikan dan bersiap masuk dunia kerja.
Pemerintah dan lembaga pendidikan harus bergerak cepat, bukan hanya menyikapi krisis ini, tetapi juga merancang sistem yang lebih tangguh dan berkelanjutan di masa depan.
***
*) Oleh : Apri Damai Sagita Krissandi, Dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |