https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Efek Disrupsi Digital terhadap Perkembangan Sastra

Rabu, 08 Januari 2025 - 19:36
Efek Disrupsi Digital terhadap Perkembangan Sastra Muhammad Saukani, Pengamat Bahasa dan Sastra Arab.

TIMES MALANG, TANGERANG – Hanya pecinta sastra yang dapat mengapresiasi sastra. Di luar itu sastra seperti dianggap hanya sebagai barang mainan yang tidak memiliki daya jual untuk keberlanjutan hidup dalam bentuk pekerjaan yang jelas. Dan anggapan ini sering berkelindan di dalam urat pikiran orang-orang yang ingin melanjutkan perkuliahan di universitas.

Dalam pendidikan, doktrin semacam ini sudah sangat mengakar di masyarakat. Karena mereka lebih memilih bidang-bidang lain selain jurusan sastra ketika melanjutkan studi. Pemikiran seperti itu ada benarnya juga karena melihat dari minat masyarakat Indonesia yang lebih memilih bidang lain kecuali sastra seperti matematika, teknik, hukum dan bidang lainnya. Memang pelajaran-pelajaran semacam itu adalah pelajaran yang memiliki prospek kerja yang jelas ketimbang sastra. 

Namun yang disayangkan adalah orang yang beranggapan sastra hanya sebatas mengolah imajinasi saja dan tidak terlalu diperlukan, dan susah mencari pekerjaan. Padahal sebaliknya, Sastra juga bagian penting dalam perkembangan peradaban dunia. Dia dibutuhkan. Selama manusia berbahasa, selama itu juga sastra diperlukan. Untuk membuat manusia hidup. 

Memang pernyataan diatas tidak salah bahwa jurusan Sastra, apalagi Indonesia, tidak disarankan untuk orang yang butuh uang cepat. Seperti jurusan sastra Jawa, sastra Arab, sastra daerah, dan sastra Melayu. Namun yang perlu kita ketahui, bahwa orang-orang yang mengambil jurusan sastra akan memiliki keunikan tersendiri, karena kerja sastra tidaklah mudah, butuh kecerdasan juga sama halnya seperti bidang matematika, fisika, ekonomi, pertanian, dan pertambangan. 

Walaupun tidak ada hitung-hitungan, tetapi kerja sastra lebih dari itu. Sastra adalah seni mengolah rasa, memahami dan menyelami pikiran manusia, bahkan dituntut untuk bisa memahami dunia. Maka menurut hemat saya, sastra juga memiliki daya tarik tersendiri untuk bisa mempengaruhi orang agar mudah mendapatkan pekerjaan. 

Ditambah lagi, anggapan negatif terhadap sastra ini semakin diperkuat oleh perubahan zaman dan gaya hidup modern. Terlebih pada kalangan milenial pelajar. Karya sastra baik fiksi maupun non-fiksi nampak sudah mulai tersisih dari pikiran para pelajar. 

Padahal kunci kesuksesan sebuah pendidikan itu tentu dilandasi dengan banyaknya menggeluti di bidang literasi. Apapun minat di pendidikannya, yang paling utama dan tidak boleh dikesampingkan adalah harus sering terjerumus di lembah literasi.

Dampak buruk digitalisasi mengalahkan banyak kekuatan positif dalam sastra. Orang-orang sekarang bahkan lebih percaya terhadap temuan yang dipampangkan oleh digitalisasi tersebut, semacam video dari YouTube yang menyampaikan pesan atau berita yang kemungkinan tidak bersumber. 

Sastra, sebagai sarana refleksi dan kritisisme, semakin tenggelam di antara konten instan yang disajikan di layar gawai. Padahal, sastra memiliki kemampuan untuk membentuk karakter, meningkatkan daya kritis, serta memberikan pemahaman mendalam terhadap kondisi sosial dan budaya. 

Oleh karena itu, penting untuk mengembalikan kesadaran akan nilai sastra di tengah arus digital yang begitu deras. Hal ini bisa dimulai dari lingkungan pendidikan, di mana sastra harus diposisikan kembali sebagai bagian penting dalam membangun kualitas manusia yang utuh dan berbudaya. Kita sudah mengetahui makna dari sastra. 

Barangkali definisi yang akan ditulis disini sudah lumrah ditemukan dimana-mana, bahwa sastra merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya yang merekam pemikiran, perasaan, dan pengalaman manusia yang dituangkan ke dalam sebuah tulisan dengan bahasa yang indah dan sarat akan makna. 

Seperti yang dipaparkan pada bagian atas, hadirnya digitalisasi yang semakin meluas berimbas kepada minat masyarakat terhadap sastra mengalami penurunan yang signifikan. Digitalisasi dengan segala kemudahannya telah mengubah cara manusia mengakses, mengonsumsi, dan menghargai karya sastra. 

Platform media sosial, aplikasi hiburan, dan konten konten digital lainnya yang begitu serba cepat telah menggeser posisi sastra bentuk fisik (buku) yang memerlukan waktu dan perhatian penuh untuk dinikmati.

Bahkan di masa sekarang ini, seluruh waktu 24 jam, 75% dihabiskan untuk digitalisasi yang penuh dengan kekuatan dalam menyeret kita. Ustad Muhammad Nuruddin dalam bukunya berjudul Panduan Praktis Agar Gila Membaca dan Menulis mengatakan: “Rasanya sekarang ini tak ada makhluk yang paling piawai dalam menyedot perhatian kita selain internet dan game online” maka menurut hemat saya, fenomena semacam ini melahirkan kekhawatiran akan keberlanjutan sastra sebagai bagian penting dari warisan para intelektual dahulu.

Pola Konsumsi Sastra 

Di era digitalisasi yang berkembang sekarang ini mengakibatkan mindset masyarakat mudah tergeser ke arah yang salah : mereka beranggapan dengan menikmati karya sastra dalam bentuk fisik (buku) dapat menghabiskan waktu, dan hal itu terjadi pada sebagian masyarakat Indonesia. 

“untuk apa membaca sastra, toh juga tidak menghasilkan uang, hanya saja menghabis-habiskan waktu, jika ingin iseng melihat lebih baik lewat internet, Youtube misalnya agar lebih efisien dan instan, tidak cape-cape dan buang waktu untuk membaca fisiknya”. 

Pemikiran yang terjadi semacam ini, menurut hemat penulis adalah pemikiran yang cacat. Jika berpikir semacam itu. Pertanyaannya adalah apakah kita bisa menjamin keaslian dari isi-isi konten di internet tersebut?, belum tentu. 

Jika kita langsung merujuk kepada karya sastra yang berbentuk fisik, sudah dapat dipastikan dan dijamin apa yang tertuang di dalamnya adalah hasil pemikiran si penulis secara natural, berbeda yang sudah tercantum di internet, dan hal ini dapat mengurangi keasrian dan kemurnian dari karya sastra itu sendiri. 

Lagi-lagi mengutip dari kalimat yang ditulis oleh Ustad Muhammad Nuruddin dalam bukunya: “ada salah  satu penelitian yang dilakukan oleh Professor Ryuta Kawashima, seorang pakar neuroscience dari Tohoku University. Dalam penelitiannya, ada beberapa kegiatan yang bisa membuat otak kita aktif salah satunya adalah kegiatan membaca. Maka menurut hemat saya, dengan membaca buku sastra aslinya, lebih membuahkan hasil daripada hanya mendengarkan, yang belum tentu bisa mengajak otak kita aktif. 

Dengan seringnya otak kita dipakai untuk sesuatu yang instan seperti apa yang dimuat dalam digitalisasi, maka dikhawatirkan otak kita akan lebih condong kepada sesuatu yang instan-instan. Tetapi, kalau otak kita lebih sering dipakai untuk berpetualang, menyelami makna dibalik karya sastra, maka otak kita akan lebih tajam dalam menganalisa suatu makna dibalik teks. 

Pisau yang sering diasah tidak akan pernah sama dengan pisau yang hanya dijadikan drbsgsi hiasan. Otak kita juga begitu.” Dalam pernyataannya itu bahwa sastra juga dapat melatih otak manusia agar lebih tajam dalam berpikir dan menganalisa sesuatu.

Dampak Positif Digitalisasi Terhadap Sastra

Meskipun digitalisasi membawa dampak buruk, di sisi lain digitalisasi berpahlawan menghidupkan sastra pada permukaan masyarakat. Digitalisasi bisa dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali minat terhadap sastra. Platform digital dapat menjadi media efektif untuk memperkenalkan karya sastra kepada generasi muda. 

Misalnya, sekarang ini kita tidak perlu cape-cape ke perpustakaan untuk menemukan karya-karya sastra berbentuk buku, tapi hanya dengan lewat rumah karya yang kita inginkan bisa kita dapatkan untuk dibaca, dan itu semua lewat genggaman gadget saja. 

E-book dan semacamnya telah membuka akses yang lebih luas bagi orang-orang yang sulit mendapatkan karya sastra fisiknya. Setelah itu, podcest yang membahas sastra dan diskusi daring melalui forum online juga dapat menjadi ruang bagi para pecinta sastra untuk bertukar pikiran.

***

*) Oleh : Muhammad Saukani, Pengamat Bahasa dan Sastra Arab.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.