https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Feminisme dan Keterkaitan Usia Menikah

Selasa, 09 Mei 2023 - 15:29
Feminisme dan Keterkaitan Usia Menikah Puput Rusmawati, Mahasiswa Universitas Andalas.

TIMES MALANG, SUMATERA – Pentingnya membahas Feminisme dan Keterkaitan Usia Menikah adalah untuk memberikan pemahaman dan membuka pandangan masyarakat tentang hak-hak perempuan dalam usia menikah, serta mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memberikan dukungan pada perempuan yang mengambil keputusan terkait dengan usia menikah mereka.

Gerakan feminis percaya bahwa setiap perempuan berhak untuk menentukan nasib mereka sendiri tanpa adanya tekanan dari budaya, keluarga, atau masyarakat. Sebelum gerakan feminis muncul, masyarakat sering kali menekan perempuan untuk menikah pada usia yang sangat muda. Usia menikah yang rendah seringkali dianggap sebagai norma dan perempuan yang memilih untuk tidak menikah dianggap sebagai orang yang aneh atau tidak normal.

Namun, gerakan feminis telah memperjuangkan hak-hak perempuan untuk menentukan nasib mereka sendiri terkait dengan usia menikah. Gerakan ini menyadari bahwa usia menikah yang terlalu muda dapat memiliki dampak negatif pada kesehatan fisik dan mental perempuan, serta dapat menghambat kemajuan mereka dalam pendidikan dan karir.

Gerakan feminis juga memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mengambil keputusan tentang kapan dan dengan siapa mereka ingin menikah, feminis percaya bahwa perempuan dewasa yang dapat memutuskan sendiri kapan dan dengan siapa mereka ingin menikah akan lebih cenderung memiliki hubungan yang sehat dan memuaskan.
Sejarah Pandangan Masyarakat Tentang Usia Menikah Pada Wanita

Tradisi dan budaya zaman dahulu dalam menentukan usia menikah sangat bervariasi di seluruh dunia. Beberapa budaya memandang bahwa menikah pada usia yang masih sangat muda merupakan suatu kehormatan. Beberapa daerah di Asia dan Afrika misalnya, perempuan sering kali diharapkan untuk menikah pada usia yang sangat muda. Beberapa negara bahkan memiliki undang-undang yang mengatur usia minimum pernikahan yang sangat rendah, seperti 16 tahun di Indonesia, 13 tahun di Yaman dan 12 tahun di beberapa bagian Afrika.

Menurut Bhengu (2020) di beberapa negara Afrika, pernikahan dini telah menjadi tradisi dan budaya yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Pernikahan dianggap sebagai salah satu upaya untuk mengamankan hubungan antara keluarga dan masyarakat. Selain itu, di beberapa daerah, perempuan yang belum menikah dianggap tidak lengkap dan tidak dihargai dalam masyarakat. Dalam budaya Afrika, pernikahan dini biasanya terjadi pada usia remaja, bahkan ada beberapa kasus di mana anak perempuan menikah di bawah usia 10 tahun.

Senada itu, menurut Rai dan S. K. Ranjan (2016) di India, pernikahan dianggap sebagai tanggung jawab orang tua dan dilihat sebagai upaya untuk menjaga kehormatan keluarga. Selain itu, di beberapa daerah, perempuan yang belum menikah dianggap sebagai beban finansial bagi keluarga hingga akhirnya mereka dinikahkan pada usia muda. 

Namun, pandangan masyarakat tentang usia menikah pada wanita telah berubah seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan sosial. Di masa lalu, tradisi dan budaya di banyak negara menentukan bahwa perempuan harus menikah pada usia muda dan menghabiskan sisa hidup mereka sebagai istri dan ibu rumah tangga. Saat ini, sudah banyak masyarakat menganggap penting bagi perempuan untuk menyelesaikan pendidikan mereka dan memiliki karir sebelum menikah dan memulai keluarga.

Secara global, tren menunjukkan bahwa usia menikah perempuan semakin meningkat. Menurut data PBB, rata-rata usia menikah perempuan global pada tahun 2020 adalah sekitar 30 tahun, ini sangat berbanding dengan rata-rata usia menikah pada zaman dahulu. 

Feminisme dan Perubahan Pandangan Masyarakat Tentang Usia Menikah Pada Wanita

Feminisme berusaha mengubah pandangan masyarakat tentang pernikahan dan usia menikah yang memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memiliki otonomi dan kebebasan dalam memilih jalan hidup mereka, termasuk dalam memilih untuk menikah atau tidak dan memilih usia pernikahan yang tepat bagi diri mereka sendiri. Hal ini melibatkan upaya untuk menghilangkan tekanan sosial dan budaya yang memaksa perempuan untuk menikah pada usia yang terlalu muda serta meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan dan pemberdayaan perempuan dalam mencapai kemandirian dan kesetaraan gender.

Lalu, bagaimana feminisme berhasil mengubah pandangan masyarakat tentang usia pernikahan perempuan?

Menurut Curran (2014), gerakan feminis telah berhasil mengubah pandangan masyarakat tentang usia pernikahan perempuan dengan cara memperjuangkan hak-hak perempuan dalam hukum internasional. Gerakan feminis berhasil memperjuangkan peningkatan usia minimal untuk menikah bagi perempuan melalui instrumen hukum internasional seperti Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi PBB tentang Hak Anak-anak. 

Selanjutnya Jahan dan Shahnaz Akter (2020), menyatakan bahwa gerakan feminis telah memainkan peran penting dalam mengubah pandangan masyarakat tentang usia pernikahan perempuan di Bangladesh melalui kegiatan advokasi dan aktivisme dengan memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan dan mengambil keputusan yang berdampak pada usia pernikahan mereka. 

Dampak Perubahan Pandangan Masyarakat Tentang Usia Menikah Pada Wanita

Faktor Kesehatan: Dengan menunda usia pernikahan, perempuan memiliki kesempatan untuk lebih matang secara fisik dan mental sehingga dapat mengurangi risiko komplikasi kehamilan dan persalinan. Wanita yang menikah pada usia yang sangat muda lebih rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi, seperti anemia, fistula, dan masalah kesehatan lainnya yang terkait dengan kehamilan dan persalinan.

Faktor Pendidikan dan Karir: Dengan menunda usia pernikahan, perempuan memiliki kesempatan untuk mengejar pendidikan dan karir yang lebih besar. Wanita yang menikah pada usia yang sangat muda biasanya tidak memiliki kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan mereka dan kurang berpeluang untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

Faktor Sosial dan Psikologis: Dengan menunda usia pernikahan, perempuan memiliki kesempatan untuk lebih matang secara sosial dan psikologis sehingga dapat membangun hubungan yang lebih sehat dan bahagia dalam perkawinan. Perempuan yang menikah pada usia yang sangat muda cenderung mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan peran sebagai istri dan ibu, yang dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi.

Opini Saran dan Rekomendasi 

Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mempercepat perubahan pandangan masyarakat tentang usia menikah pada wanita adalah dengan pendidikan dan sosialisasi yang lebih baik mengenai pentingnya usia pernikahan yang lebih matang, mendorong perubahan nilai dan norma sosial melalui kampanye sosial yang intensif, perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap pernikahan di bawah umur dengan kebijakan tegas dan penegakan hukum yang lebih baik, meningkatkan partisipasi perempuan dalam keputusan pernikahan, program-program penyuluhan dan kampanye sosial yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, agama dan media massa untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif dari pernikahan di bawah umur pada kesehatan dan perkembangan anak.

***

*) Oleh: Puput Rusmawati, Mahasiswa Universitas Andalas.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.