https://malang.times.co.id/
Forum Mahasiswa

Perempuan dalam Cengkraman Rezim Patriarki

Sabtu, 15 Februari 2025 - 17:39
Perempuan dalam Cengkraman Rezim Patriarki Novia Ulfa Isnaini, Mahasiswa UIN KH Ahmad Shiddiq Jember.

TIMES MALANG, JEMBER – Maraknya kasus terhadap persoalan patriarki dikalangan eksis remaja, aktivis, dan kaum intelektual wanita membuat persoalan gender hingga saat ini terus diperbincangkan. Banyak kejadian eksploitasi bagi kaum wanita terutama dalam ruang publik hingga domestik rumah tangga. 

Hal ini terbukti dari data situs resmi Komnas Perempuan yang menyatakan terdapat 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada tahun 2023. Dalam konteks ini, karya-karya seperti “Perempuan di Titik Nol” oleh Nawal el-Saadawi menawarkan perspektif kritis yang masih relevan bagi perempuan saat ini.

Buku Perempuan di Titik Nol atau dalam bahasa Arabnya dikenal “Emra’ah ‘Enda Noktah al Shifr” merupakan karya dari Nawal el Sadawi yang ditulis pada tahun 1973. Tulisan yang penuh energik ini mampu menggugah dan mengguncang emosi pembaca terhadap gambaran ketidakadilan yang dialami seorang perempuan di bawah dominasi sistem patriarki yang menindas. 

Buku ini juga menggambarkan sebuah perjuangan perempuan untuk merebut kedudukan dan hak hak yang sama dan lebih penting lagi untuk mendapat perubahan nilai eksistensi perempuan. 

Nawal el Sadawi adalah seorang penulis berkebangsaan Mesir yang selalu memperjuangkan hak-hak wanita, pegiat feminis dan ahli psikiater selain itu ia juga seorang dokter spesialis neurologis. 

Karakter tulisan Nawal El Sadawi yang berani sering mengundang reaksi keras dari pemerintah Mesir dan kalangan agamawan konservatif karena dinilai menentang norma-norma patriarki yang kaku dan represif di negaranya. Hal ini digambarkan sebagai "Simone de Beauvoirnya " dari dunia Arab dan dijuluki perempuan paling Radikal di Mesir.

Buku ini diangkat dari kisah nyata dan ditulis setelah pertemuan Nawal dengan seorang tahanan perempuan di penjara Qanatir bernama Firdaus. Nawal menjadikan Firdaus sebagai tokoh utama karena karakter yang dimiliki Firdaus berbeda dengan perempuan lainnya. 

Menurutnya, Firdaus merupakan sosok perempuan cerdas, tegas, dan pemberani. Terbukti dari perbuatan Firdaus yang selalu menentang dan melawan ketertindasan dan perampasan hak manusia. 

Pertemuan Nawal dan Firdaus sangatlah tidak mudah, sudah berbagai cara yang ia lakukan supaya bisa berinteraksi dengan Firdaus, namun hasilnya tetap nihil, hingga tiba di suatu hari entah apa alasan Firdaus mau menerima Nawal untuk masuk kedalam jeruji selnya. 

Lalu kemudia Firdaus menceritakan kisah hidupnya dari masa kecilnya yang hidup dalam lingkar kemiskinan hingga kehidupan dewasanya sebagai pelacur. Sekalipun hal ini dianggap tabu oleh masyarakat dinegaranya Nawal dengan berani mengeksplorasi isu isu perempuan. 

Melalui penggunaan bahasa yang lugas dan langsung buku ini mampu mengawal emosi sekaligus membuka pikiran para pembaca terhadap realita perempuan yang terbelenggu oleh budaya patriarki.

Perempuan dititik nol merupakan sajian pengalaman yang mendalam dan menggugah. Ekspresi dari setiap perjalanan Firdaus begitu tajam dan memberi banyak makna serta pembelajaran. 

Buku ini benar benar membuka mata saya terhadap realitas pahit yang dihadapi banyak perempuan, dari buku ini saya termotivasi untuk berbuat lebih banyak dalam memperjuangkan hak hak perempuan terutama dilingkup kecil saya sendiri dalam membangun semangat dan kekuatan keyakinan. 

Kelebihan buku ini terletak pada keberanian Nawal el Sadawi dalam mengangkat topik yang dianggap tabu oleh masyarakat dibenci oknum penjilat kekuasaan dalam mengungkap kebenaran yang bertentangan dengan keyakinan mereka. 

Kekuatan buku ini mengangkat narasi yang sangat keras  dan pedas, sebagaimana yang saya kutip Lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip sebenarnya tidak berbeda dari lelaki lainnya.

Mereka mempergunakan kepintaran mereka, dengan menukarkan prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dapat dibeli orang lain dengan uang, revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami, sesuatu yang disalah gunakan, sesuatu yang dapat dijual.
 
Demikian, buku ini sangat penting dan wajib dibaca oleh siapa saja yang peduli terhadap isu kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Karena semua yang terjadi pada ketidakadilan dan kekerasan manusia sudah terekam dalam buku ini. 

Perempuan dan KetidakAdilan Gender

Menjadi seorang perempuan tidaklah mudah bagi Firdaus apalagi di lingkungannya yang konservatif dan menjunjung tinggi rezim patriarki, seorang perempuan selalu mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan dinilai lebih rendah dari pada laki laki. Ketikdak adilan ini tergambar dari berbagai pengalaman Firdaus semasa hidupnya, diantaranya ialah:

Pertama, dalam budaya patriarki tindakan subordinasi sering dilakukan oleh para oknum untuk mengeksploitasi hak perempuan, dengan menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah ketimbang laki laki. 

Ketikdakadilan tersebut bukan hanya tergambar dari perjalanan hidup Firdaus akan tetapi juga tercerminkan dari sikap ibu Firdaus yang lebih mementingkan ayahnya dan membedakan anak laki laki dan perempuan. 

Dalam ranah pendidikan, Firdaus tidak bisa mendapatkan hak yang sama dengan laki laki, diceritakan bahwa Firdaus sangat mengidolakan pamannya dan berkeinginan untuk menimba ilmu di tempat yang sama, namun hanya karena ia sosok perempuan, ia tidak diperbolehkan sebab paman Firdaus mengatakan sebuah universitas hanya diperuntukkan untuk laki laki saja. 

Kedua, Proses marginalisasi yang mengakibatkan ketidakadilan banyak terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki laki dan perempuan, dalam konteks tersebut, Firdaus sering mangalami marginalisasi yang dilakukan oleh istri pamannya, disini yang dilakukan bibi ialah mengesampingkan hak Firdaus untuk dapat memilih pasangannya.

Firdaus dipaksa menikahi Syekh Mahmoud yang tak lain saudara dari sang bibi, hal ini dilakukan karena bibi beranggapan bahwa Firdaus akan menghabiskan jatah makanan jika ia tetap tinggal dirumah pamannya. 

Ketiga, stigma negatif atau yang disebut stereotipe gender, Firdaus mengalami ketidakadilan tersebut pada saat ia menjadi bahan pertengkaran antara paman dan istrinya, bibi beranggapan firdaus tidak dapat memiliki perkerjaan bagus karena hanya mempunyai ijazah sekolah menengah, kehadiran Firdaus dalam rumah tangga mereka hanya menyulitkan ekonomi dan memperparah pekerjaan rumah. 

Keempat, semasa hidupnya, Firdaus juga sering kali mendapatkan tindakan kekerasan, entah serangan fisik maupun integritas mental psikologis, Firdaus mengalami kekerasan berupa pelecehan seksual, tindakan pemukulan, dan penyiksaan psikologis. Pelecehan yang dialami Firdaus telah terjadi ketika ia masih kecil, dimana hal ini dilakukan oleh teman sebayanya ketika bermain bersama.

Selain itu tindakan pelecehan seksual didapati dari lingkungan keluarga yang dilakukan oleh pamannya sendiri " Saya melihat tangan paman saya bergerak gerak dibalik buku yang sedang ia baca, menyentuh kaki saya saat berikutnya saya merasakan tangan itu menjelajahi paha saya".

Sedangkan tindakan pemukulan atau penganiayaan fisik terjadi saat Firdaus mulai beranjak usia remaja, ketika itu selepas sholat dari kelulusan sekolah menengah, Firdaus dinikahkan dengan Syekh Mahmoud. Namun pernikahan yang seharusnya mandapatkan perlindungan dan rasa aman dari suaminya.

Justru menjadi ladang penganiayaan kekerasan fisik "Pada suatu peristiwa ia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya, muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar", perlakuan kekerasan dari Syekh Mahmoud terus berlangsung sampai ia keluar dari rumahnya. 

Dari berbagai tindak kekerasan dan ketidakadilan gender yang dialami oleh Firdaus, tidak serta merta hanya meninggalkan luka fisik pada tubuhnya melainkan berujung pada tekanan batin yang melukai kondisi psikologis Firdaus, selama masa akhir akhir di tempat jeruji sel sebelum dihukum mati, Firdaus sering mengurung diri, tidak makan dan tidak tidur di sepanjang hari. Hal ini disebabkan tekanan yang dialami firdaus menganggu kesehatan psikologisnya. 

Namun demikian, pengalaman demi pengalaman berhasil memberikan pelajaran pada Firdaus bahwa identitas sebagai seorang perempuan hanyalah dijadikan sebagai objek yang dapat ditindas dan diperlakukan sewenang wenang. 

Untuk menemukan kebebasan, Firdaus menekankan pada keyakinan dirinya bahwa ia juga pantas menerima kebebasan tanpa dikontrol dan disiksa dari laki laki " Saya tahu prosefesi saya diciptakan oleh seorang laki laki, karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak".

Secara keseluruhan, novel ini menarik untuk dibaca sebab pembelajaran yang dipetik menimbulkan impresi atau penyadaran intelektual terhadap segala bentuk ketidakdilan terutama dikalangan perempuan. 

Selain itu implikasi dari membaca novel ini dapat mewujudkan kesadaran kolektif terhadap kesenjangan sosial yang relevan dengan problematika masyarakat saat ini bahwa ketidakadilan seringkali disniyalir dari perbedaan gender.

***

*) Oleh : Novia Ulfa Isnaini, Mahasiswa UIN KH Ahmad Shiddiq Jember.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.