TIMES MALANG, MALANG – Konflik di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kerap dibaca secara dangkal: pertarungan personal, salah paham struktural antara Syuriyah dan Tanfidziyah, atau sekadar problem komunikasi elite. Cara baca ini menutup persoalan yang lebih mendasar.
Yang sedang berlangsung hari ini bukan semata konflik kepemimpinan, melainkan proses institusional yang berulang, di mana kekuasaan yang terkonsentrasi justru mereproduksi konflik untuk mempertahankan dirinya. Dalam istilah Daron Acemoglu dan James A. Robinson, NU sedang bergerak dalam sebuah vicious cycle institusional.
Dalam Why Nations Fail, Acemoglu menegaskan bahwa kegagalan entitas politik tidak disebabkan oleh watak individu atau budaya, melainkan oleh desain institusi yang membentuk perilaku elite. Institusi ekstraktif menciptakan lingkaran setan: kekuasaan yang terkonsentrasi melahirkan elite yang bertahan dengan cara melemahkan mekanisme koreksi, sementara konflik yang muncul tidak membongkar struktur, melainkan digunakan untuk menjustifikasi kontrol yang lebih kuat. Kerangka ini relevan untuk membaca konflik PBNU hari ini, bukan sebagai metafora, melainkan sebagai relasi kausal.
Sejarah awal NU justru memperlihatkan desain institusional yang relatif inklusif. Sejak berdiri pada 1926, NU tidak dibangun di atas sentralisasi kekuasaan administratif. Otoritas KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar tidak bersifat koersif, melainkan bertumpu pada legitimasi keilmuan dan pengakuan kolektif umat.
Kekuasaan tersebar dalam jaringan pesantren dan kiai yang berlapis. Dalam bahasa Acemoglu, struktur ini membuat kekuasaan sulit diekstraksi karena tidak terpusat pada satu simpul institusional yang bisa dikuasai secara penuh oleh elite tertentu.
Namun, inklusivitas ini mulai diuji ketika NU memasuki politik elektoral pada era Masyumi dan Partai NU. Politik memperkenalkan logika baru: kompetisi kekuasaan, konsolidasi elite, dan kebutuhan akan kontrol organisasi yang lebih ketat.
Pengalaman ini menunjukkan bagaimana keterlibatan dalam politik membuka peluang awal konsentrasi kekuasaan dan fragmentasi internal. Di titik ini, benih vicious cycle mulai tumbuh: konflik internal mendorong tuntutan stabilitas, dan stabilitas dijawab dengan penguatan kontrol elite.
Keputusan kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar Situbondo 1984 dapat dibaca sebagai upaya sadar memutus kecenderungan tersebut. Khittah bukan sekadar penarikan diri dari politik praktis, melainkan mekanisme pembatasan kekuasaan agar NU tidak menjadi instrumen ekstraksi legitimasi agama.
Dengan menjaga jarak dari politik elektoral, NU memperkuat perannya sebagai kekuatan masyarakat sipil dan penyangga moral. Pada fase ini, desain institusional NU kembali bekerja secara relatif inklusif.
Namun, pascareformasi, konteks demokrasi Indonesia berubah secara drastis. Demokrasi yang tumbuh bukan demokrasi inklusif sebagaimana dibayangkan Acemoglu, melainkan demokrasi oligarkis yang memusatkan sumber daya ekonomi dan politik pada elite terbatas.
Dalam ekosistem seperti ini, organisasi masyarakat sipil tidak lagi berada di luar kekuasaan, melainkan terintegrasi ke dalam sirkulasi legitimasi. Moralitas tidak berdiri di luar politik, tetapi berubah menjadi modal yang bisa dinegosiasikan dan diekstraksi.
Konteks inilah yang, sebagaimana ditunjukkan Prof. Vedi R. Hadiz, memungkinkan vicious cycle bekerja secara sistemik. Demokrasi Indonesia bergerak dalam konfigurasi oligarkis-populis, di mana populisme tidak melawan oligarki, melainkan justru memproduksi ulang legitimasi kekuasaannya.
Oligarki, dalam pandangan Vedi, bukan sekadar kumpulan orang kaya, melainkan sistem relasi antara politisi, birokrat, dan pengusaha yang menguasai sumber daya publik. Dalam sistem ini, retorika kerakyatan menutupi konsentrasi kekuasaan, sementara kebijakan yang diklaim pro-rakyat justru memperkuat patronase dan ketergantungan.
Dalam bahasa Acemoglu, inilah bentuk vicious cycle dalam demokrasi prosedural: institusi elektoral tetap berjalan, tetapi distribusi kekuasaan substantif semakin tertutup. Kekuasaan tampak sah, stabil, dan populis, tetapi justru karena itu semakin sulit dikoreksi. Resentralisasi kekuasaan melalui proyek strategis nasional, konsolidasi BUMN, dan lembaga keuangan negara merupakan adaptasi institusi ekstraktif dalam wajah demokrasi.
Konfigurasi ini menjadi lingkungan struktural tempat NU beroperasi hari ini. Ketika oligarki bekerja melalui kooptasi moral dan simbolik, organisasi keagamaan tidak lagi berada di luar kekuasaan, melainkan berisiko ditarik ke dalam sirkulasi legitimasi.
Dalam konteks ini, konflik PBNU bukan penyimpangan, melainkan ekspresi internal dari logika yang sama: konsentrasi akses, kompetisi elite, dan pelemahan mekanisme koreksi yang dibungkus stabilitas.
PBNU pun mengalami pergeseran struktural. Dari pusat koordinasi jam’iyah, ia bertransformasi menjadi simpul kekuasaan strategis dengan akses pada negara, kebijakan publik, dan sumber daya ekonomi. Konsentrasi akses ini menciptakan insentif kuat bagi elite untuk bertahan.
Konflik internal muncul, tetapi alih-alih membuka ruang koreksi, konflik justru digunakan untuk menyerukan stabilitas. Di sinilah vicious cycle bekerja secara utuh: konflik melahirkan tuntutan stabilitas, stabilitas menjustifikasi konsolidasi kekuasaan, dan konsolidasi kekuasaan melemahkan koreksi.
Dampak paling serius dari siklus ini adalah krisis otoritas kiai. Dalam NU klasik, otoritas kiai lahir dari jarak terhadap kekuasaan. Kini, jarak itu menyempit. Otoritas moral berubah menjadi modal politik, dan modal politik mendorong elite bertahan dalam lingkar kekuasaan. Kekuasaan yang bertahan kemudian menggerus otonomi moral yang seharusnya menjadi sumber koreksi. Inilah lingkaran setan khas institusi ekstraktif.
Isu pengelolaan aset, kedekatan dengan negara, hingga kontroversi konsesi tambang menunjukkan bagaimana sumber daya menjadi medan utama ekstraksi. Keputusan strategis diambil oleh lingkar sempit tanpa deliberasi yang kredibel. Konflik tidak diselesaikan, hanya dipendam, untuk kemudian muncul kembali dalam bentuk lain.
Ketegangan antara Syuriyah dan Tanfidziyah mencerminkan kegagalan membangun checks and balances internal. Dalam negara, kegagalan ini melahirkan oligarki. Dalam NU, ia melahirkan oligarki kultural yang dibungkus legitimasi keagamaan. Konflik dikelola, bukan diselesaikan. Inilah yang oleh Acemoglu disebut elite entrenchment.
Konsep critical juncture menjelaskan mengapa konflik PBNU saat ini terasa menentukan. Namun momen kritis tidak otomatis menghasilkan institusi inklusif. Tanpa tekanan dari basis jamaah dan mekanisme akuntabilitas yang nyata, konflik besar justru berakhir dengan islah simbolik, sementara distribusi kekuasaan tetap tidak berubah.
Di titik inilah Khittah 1926 berisiko kehilangan daya operasionalnya. Ia terus dirujuk, tetapi tidak diterjemahkan menjadi pembatas kekuasaan. Dalam bahasa Acemoglu, Khittah berubah dari constraint on power menjadi legitimizing narrative menjaga stabilitas semu sambil membiarkan ekstraksi berlangsung.
Jika analisis ini diterima, maka konflik PBNU bukan anomali, melainkan gejala klasik organisasi besar yang gagal memperbarui institusinya seiring perubahan skala kekuasaan. NU sedang diuji bukan pada kesetiaan simbolik terhadap Khittah, tetapi pada keberanian mengembalikan institusi ke watak inklusifnya.
Dalam bahasa Acemoglu, pertanyaannya sederhana namun brutal: apakah NU masih memungkinkan sirkulasi kekuasaan dan koreksi elite, atau telah terjebak dalam keseimbangan ekstraktif yang stabil namun merusak. (*)
***
*) Oleh : Hafis Muaddab, Peneliti Kebijakan Publik & Ekonomi Daerah dan Mahasiswa Doktoral Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |