TIMES MALANG, MALANG – Tanpa perlu menunggu kalender resmi Pemilu, mesin politik menuju 2029 sejatinya sudah mulai dipanaskan. Konsolidasi elite, pergerakan figur, manuver partai, hingga penguatan citra personal di ruang publik berjalan pelan tapi pasti.
Politik kita kembali memasuki fase klasik: orientasi pada posisi, bukan pada prestasi; pada target jabatan, bukan pada dampak kerja nyata. Seolah kekuasaan adalah tujuan akhir, bukan instrumen untuk menghadirkan perubahan.
Fenomena ini bukan barang baru. Setiap siklus elektoral, pola yang sama selalu berulang. Politik direduksi menjadi hitung-hitungan elektabilitas, peta koalisi, dan peluang kursi.
Ukurannya sederhana: siapa dapat apa, duduk di mana, dan berapa jatah kekuasaan yang bisa diamankan. Yang sering absen dalam perhitungan itu adalah satu hal paling mendasar: apa dampak konkret dari kerja politik tersebut bagi rakyat.
Sejak awal periode kekuasaan, sebagian elite politik sudah berpikir tentang periode berikutnya. Energi politik tidak sepenuhnya dicurahkan untuk menyelesaikan persoalan struktural pendidikan yang timpang, ekonomi rakyat yang rapuh, pelayanan publik yang belum adil melainkan untuk merawat panggung kekuasaan. Kerja politik berubah menjadi kerja citra, bukan kerja substansi.
Mesin politik yang bergerak terlalu dini ini menciptakan paradoks. Di satu sisi, elite berbicara tentang stabilitas dan keberlanjutan pembangunan. Di sisi lain, orientasi jangka pendek justru menguat.
Kebijakan diukur bukan dari dampaknya dalam lima atau sepuluh tahun ke depan, melainkan dari seberapa efektif ia menaikkan popularitas atau memperkuat posisi tawar menjelang 2029. Politik kehilangan kesabarannya.
Dalam situasi seperti ini, jabatan bukan lagi amanah, melainkan target. Ukuran keberhasilan politisi bergeser: bukan lagi seberapa besar perubahan yang dihasilkan, tetapi seberapa tinggi posisi yang diraih. Akibatnya, publik disuguhi parade manuver, bukan laporan capaian. Yang ramai adalah deklarasi, bukan evaluasi.
Lebih problematis lagi, politik semacam ini menjauhkan rakyat dari makna partisipasi yang sejati. Rakyat hanya dibutuhkan sebagai angka basis suara, massa kampanye, atau legitimasi elektoral bukan sebagai subjek yang merasakan langsung manfaat kebijakan. Bahasa politik pun menjadi elitis, penuh jargon strategis, tetapi miskin empati terhadap realitas sosial di akar rumput.
Ketika nilai kerja nyata tidak lagi menjadi tolok ukur utama, ruang etika dalam politik ikut menyempit. Segala sesuatu menjadi sah selama menguntungkan secara elektoral.
Aliansi dibangun tanpa fondasi ideologis yang jelas, kritik dianggap ancaman, dan perbedaan diperlakukan sebagai gangguan. Politik kehilangan watak pendidikannya, padahal dalam demokrasi, politik seharusnya membentuk kedewasaan publik.
Padahal, sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan yang bertahan lama bukanlah yang paling lihai bermanuver, melainkan yang paling dirasakan manfaatnya. Rakyat mungkin lupa janji kampanye, tetapi mereka tidak lupa dampak kebijakan. Jalan yang diperbaiki, sekolah yang bermutu, layanan kesehatan yang manusiawi itulah narasi politik paling kuat, jauh melampaui baliho dan pidato.
Jika mesin politik 2029 terus bekerja dengan logika lama, kita berisiko mengulang lingkaran kelelahan demokrasi. Publik menjadi apatis, sinis, dan kehilangan harapan. Politik dipandang sebagai arena elite yang sibuk berebut kursi, bukan ruang bersama untuk memperjuangkan masa depan. Dalam jangka panjang, ini berbahaya bagi kualitas demokrasi itu sendiri.
Yang dibutuhkan hari ini bukan percepatan manuver politik, melainkan pendalaman kerja politik. Para pemegang kekuasaan seharusnya sibuk membangun rekam jejak, bukan sekadar peta koalisi.
Partai politik semestinya berlomba menawarkan gagasan dan kinerja, bukan sekadar figur dan simbol. Politik harus kembali pada fungsinya: mengelola kepentingan publik dengan nilai dan visi.
Menuju 2029, publik sebenarnya semakin cerdas. Media sosial mungkin memudahkan pencitraan, tetapi juga membuka ruang kritik yang luas. Generasi muda tidak lagi mudah terpesona oleh retorika kosong. Mereka menuntut konsistensi, transparansi, dan dampak nyata. Dalam konteks ini, mesin politik yang hanya bekerja untuk jabatan justru berpotensi menjadi bumerang.
Kekuasaan tanpa nilai hanya akan melahirkan kekosongan. Jabatan tanpa dampak hanya akan memperpanjang jarak antara elite dan rakyat. Jika politik ingin kembali dipercaya, ukurannya harus diubah: bukan siapa yang paling cepat bergerak menuju 2029, tetapi siapa yang paling sungguh-sungguh bekerja hari ini. Karena dalam politik yang bermartabat, masa depan tidak dibangun dari ambisi, melainkan dari kerja nyata yang dirasakan.
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |