TIMES MALANG, MALANG – Dunia kerja sering dipromosikan sebagai ruang meritokrasi: siapa bekerja keras, dia yang maju. Namun realitas di banyak kantor berkata sebaliknya. Kantor bukan arena siapa yang paling adil, jujur, dan berkontribusi nyata, melainkan siapa yang paling lihai menjaga posisi. Di sanalah politik bekerja dengan senyap dan sering kali brutal.
Fenomena ini bukan rahasia umum. Ada orang yang kerjanya biasa saja, bahkan minim kontribusi, tetapi suaranya paling nyaring. Ia pandai membungkus kerja tim seolah-olah hasil jerih payahnya sendiri. Rapat menjadi panggung utama, bukan untuk menyelesaikan masalah, tetapi untuk membangun citra. Sedikit kerja, banyak bicara dan anehnya, justru cepat naik jabatan.
Sebaliknya, mereka yang lurus sering kali terpinggirkan. Bekerja konsisten, menyelesaikan tugas tanpa banyak drama, tetapi enggan menjilat atau membangun narasi diri. Dalam logika politik kantor, orang-orang seperti ini bukan aset, melainkan ancaman. Terlalu jujur dianggap berbahaya. Terlalu fokus bekerja dianggap naif. Maka tak heran jika yang lurus sering diinjak-injak, disalip, atau bahkan disingkirkan.
Politik dalam dunia kerja bukan sekadar intrik personal. Ia adalah sistem tak tertulis yang diwariskan dan dinormalisasi. Dari satu generasi ke generasi berikutnya, pesan yang beredar jelas: bekerja saja tidak cukup, yang penting terlihat bekerja. Bukan hasil yang utama, tetapi persepsi atasan. Bukan kontribusi kolektif, tetapi branding individu.
Dalam sistem seperti ini, loyalitas sering dimaknai secara sempit: loyal kepada atasan, bukan kepada nilai atau tujuan perusahaan. Orang yang pandai membaca arah angin akan bertahan dan naik. Mereka fleksibel secara prinsip, licin secara sikap. Hari ini membela A, besok memuji B, asal posisinya aman. Etika menjadi variabel yang bisa dinegosiasikan.
Ironisnya, politik kantor kerap dibungkus dengan istilah profesionalisme. Ketika seseorang mengkritik ketidakadilan, ia dicap tidak dewasa. Ketika menolak ikut permainan, ia dianggap tidak “bisa kerja sama.” Padahal yang dimaksud kerja sama sering kali hanyalah kesediaan ikut arus, meski arus itu salah.
Fenomena ini merusak dua hal sekaligus: kualitas kerja dan kesehatan mental. Kualitas kerja menurun karena yang dihargai bukan kompetensi, melainkan kepiawaian berpolitik. Orang-orang terbaik bisa kehilangan motivasi ketika melihat kenyataan bahwa kerja keras tidak menjamin keadilan. Sementara kesehatan mental terganggu karena kantor berubah menjadi medan intrik, bukan ruang kolaborasi.
Lebih jauh, politik kantor menciptakan budaya ketakutan. Orang enggan berbicara jujur karena takut salah posisi. Kritik konstruktif dibungkam oleh kepentingan hierarki. Inovasi mati pelan-pelan karena ide yang lahir bukan dari keberanian berpikir, melainkan dari kalkulasi aman-tidak aman. Dalam jangka panjang, perusahaan atau institusi akan membayar mahal: stagnasi.
Namun, menyalahkan individu licin saja tidak cukup. Mereka tumbuh subur karena sistem membiarkan, bahkan memberi insentif. Ketika promosi tidak transparan, ketika penilaian kinerja kabur, dan ketika atasan lebih senang mendengar pujian daripada kebenaran, maka politik kantor menjadi keniscayaan. Orang yang lurus akan terus kalah, bukan karena lemah, tetapi karena bermain di lapangan yang tidak adil.
Pertanyaannya kemudian: apakah orang lurus harus berubah menjadi licin agar bertahan? Di sinilah dilema moral muncul. Bertahan hidup di dunia kerja sering kali menuntut kompromi. Namun kompromi yang mengorbankan integritas perlahan menggerogoti martabat. Tidak semua orang siap membayar harga itu, dan seharusnya memang tidak perlu.
Yang dibutuhkan adalah keberanian struktural. Kepemimpinan yang berani menilai berdasarkan data, bukan cerita. Sistem evaluasi yang mengukur hasil, bukan retorika. Budaya organisasi yang menghargai kejujuran, meski pahit. Tanpa itu, politik kantor akan terus menjadi hukum rimba: yang licin berkuasa, yang lurus tersingkir.
Kantor memang bukan tempat yang paling adil. Tetapi ia juga tidak harus menjadi tempat paling licik. Jika dunia kerja terus dibiarkan dikuasai oleh mereka yang pandai menjaga posisi tanpa kerja nyata, maka yang hancur bukan hanya individu, melainkan tujuan bersama. Dan ketika orang-orang baik terus kalah, kita patut bertanya: yang salah mereka, atau sistem yang kita rawat bersama?
***
*) Oleh : Saipur Rahman, Mahasiswa Psikologi Pendidikan UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |