https://malang.times.co.id/
Opini

Kedewasaan Publik NU dalam Konflik PBNU

Senin, 22 Desember 2025 - 20:33
Kedewasaan Publik NU dalam Konflik PBNU Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Fenomena konflik antar kiai di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belakangan ini memunculkan satu respons sosial yang khas: publik merasa “tak tega” melihatnya. Ada kegelisahan yang mengendap, rasa sungkan untuk bersikap terbuka, sekaligus harapan agar konflik itu cepat berlalu tanpa perlu dibicarakan secara jernih. 

NU, bagi banyak orang, bukan sekadar organisasi keagamaan, melainkan rumah moral dan simbol keteduhan Islam Nusantara. Karena itu, ketika konflik terjadi di lingkar elite keulamaan, publik seolah kehilangan keberanian untuk bersikap kritis.

Rasa tak tega ini lahir dari relasi emosional yang panjang antara warga NU dan para kiai. Kiai dipahami bukan hanya sebagai pemimpin struktural, tetapi figur teladan spiritual yang selama puluhan tahun menjadi rujukan hidup. 

Dalam konstruksi sosial semacam ini, kritik kerap disalahpahami sebagai pembangkangan, sementara perbedaan pandangan dianggap ancaman terhadap wibawa jam’iyah. Akibatnya, publik lebih memilih diam, berharap konflik selesai dengan sendirinya, ketimbang terlibat dalam percakapan yang sehat dan terbuka.

Namun, di titik tertentu, empati yang berlebihan justru berubah menjadi masalah. Konflik kiai di PBNU bukan perkara personal semata, melainkan peristiwa organisasi yang berdampak luas. PBNU adalah pusat simbolik dan struktural NU, rujukan jutaan warga nahdliyin di akar rumput. 

Ketegangan di level ini memengaruhi kepercayaan kader, ritme organisasi, hingga citra NU di ruang publik nasional. Ketika konflik dibiarkan tanpa penjelasan yang jujur, yang tumbuh bukan keteduhan, melainkan kebingungan kolektif.

Ada kecenderungan publik NU memandang konflik elite sebagai sesuatu yang “tidak pantas dipertontonkan”. Konflik seolah harus disembunyikan demi menjaga marwah organisasi. Padahal, konflik adalah bagian alamiah dari organisasi besar yang hidup. 

Yang menentukan kualitas sebuah organisasi bukan absennya konflik, melainkan bagaimana konflik dikelola. Ketika konflik diselimuti kesakralan berlebihan, ruang kritik menghilang dan nalar publik menjadi tumpul.

Ironisnya, NU justru memiliki tradisi panjang dalam mengelola perbedaan secara terbuka dan beradab. Sejarah NU penuh dengan perdebatan tajam baik dalam fikih, politik kebangsaan, maupun relasi dengan negara. 

Tradisi bahtsul masail adalah contoh nyata bagaimana perbedaan pendapat dilembagakan sebagai proses pencarian kebenaran. Namun, ketika konflik terjadi di tingkat elite struktural hari ini, publik justru diminta diam atas nama persatuan.

Respons “tak tega” juga menyingkap budaya paternalistik yang masih kuat. Kiai ditempatkan di ruang yang hampir tak tersentuh kritik, meski kebijakan dan sikapnya berdampak luas. Padahal, menghormati kiai tidak berarti menanggalkan daya kritis. Justru kritik yang jujur dan beradab adalah bentuk kecintaan agar NU tetap sehat secara organisatoris dan moral.

Di sisi lain, konflik PBNU membuka persoalan transparansi dan akuntabilitas. Publik NU berhak mengetahui apa yang sedang dipertaruhkan, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami arah jam’iyah. Ketika informasi minim dan komunikasi tersendat, ruang publik dipenuhi spekulasi. Yang terkikis bukan hanya kepercayaan, tetapi juga legitimasi moral organisasi.

Rasa tak tega publik seharusnya dibaca sebagai tanda cinta, bukan alasan untuk membungkam diskursus. Cinta pada NU semestinya melahirkan kedewasaan bersikap: berani bertanya, berani berharap, dan berani mengingatkan. Warga NU hari ini semakin terdidik dan kritis; mereka tidak lagi cukup dengan narasi normatif tentang ukhuwah tanpa kejelasan arah dan sikap.

Jika NU ingin tetap relevan sebagai penyangga moral bangsa, PBNU perlu memberi teladan dalam mengelola konflik secara bermartabat. Bukan dengan sindiran di ruang publik, bukan pula dengan menutup rapat perbedaan, tetapi melalui mekanisme organisasi yang tegas, dialog yang terbuka, dan kepemimpinan yang mengedepankan kemaslahatan jam’iyah di atas ego personal.

NU tidak akan runtuh karena konflik. Ia justru bisa rapuh jika konflik dikelola tanpa kejujuran dan kebijaksanaan. Kiai tetaplah kiai alim, mulia, dan terhormat namun NU adalah milik umat. Dan umat berhak berharap agar rumah besar ini tetap dijaga dengan akal sehat, etika, dan keberanian moral. Dari situlah, rasa tak tega seharusnya bertransformasi menjadi kedewasaan publik NU.

***

*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.