TIMES MALANG, MALANG – Kadang saya heran, kenapa bangsa ini bisa begitu heboh urusan selembar ijazah, sementara harga beras naik tiap bulan, hutan dirampas perusahaan, dan tanah adat diambil tambang, justru sepi dari pembicaraan.
Apa iya, ijazah itu sebegitu sakralnya? Atau sebenarnya kita memang bangsa yang lebih sibuk mengurusi simbol ketimbang substansi? Lebih sibuk mengejar gelar daripada menjaga nasib rakyat.
Jangan salah paham. Saya tidak bilang ijazah palsu itu soal remeh. Itu tetap pidana berat. Pasal 263 KUHP jelas mengancam pelakunya dengan pidana 6 tahun penjara.
Tapi mari kita jujur sebentar: seberapa besar sih dampak langsung dari selembar ijazah palsu itu terhadap hidup rakyat kecil di pelosok?
Bandingkan dengan janji-janji politik palsu yang sudah bertahun-tahun diucapkan, tapi tak pernah ditepati. Mulai dari janji turunkan harga, janji buka lapangan kerja, sampai janji hapus korupsi. Semua itu, kalau palsu, efeknya bisa bikin satu generasi hancur.
Anehnya, janji-janji itu kayak dianggap biasa. Kita terlalu sering terjebak di pusaran isu kosmetik, tapi abai pada kerusakan struktural. Padahal, kalau kita buka data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan per September 2024 masih di angka 8,57% atau sekitar 24,06 juta orang.
Harga beras per Mei 2025 di berbagai wilayah sudah tembus Rp 15.626 per kilogram. Di saat yang sama, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024 hanya mencapai skor 37 dari 100, menempatkan Indonesia di peringkat ke-99 dari 180 negara. Tapi kita masih saja sibuk ribut soal ijazah presiden.
Saya rasa inilah yang disebut Al-Ghazali berabad-abad lalu: rusaknya negeri bukan karena rakyatnya bodoh, tapi karena pemimpinnya tidak amanah. Sayangnya, di sini kita terlalu gampang percaya pada orang yang tampil manis di depan kamera, jual slogan, tapi abai soal moral.
Padahal Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bilang, Indonesia adalah negara hukum. Tapi hukum tanpa moral itu cuma jadi alat. Seperti orang shalat tanpa wudhu sujud iya, tapi kosong.
Fenomena ini dalam teori hukum kritis (Critical Legal Studies) menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih sangat legalistik simbolik. Lebih sibuk merawat bentuk ketimbang substansi.
Teori kontrak sosial Jean-Jacques Rousseau bilang, legitimasi kekuasaan itu bukan cuma dari hukum formal, tapi dari akuntabilitas moral penguasa terhadap rakyat.
Ketika janji politik dilanggar, sebenarnya itu bentuk pengkhianatan terhadap kontrak sosial. Aneh saja kalau soal ijazah palsu bisa bikin ribut nasional, tapi pengingkaran janji-janji besar malah dianggap angin lalu.
Coba lihat China. Negara itu dulu juga pernah hancur di era Mao Zedong. Tapi begitu mereka sadar terlalu banyak basa-basi politik, terlalu sibuk jaga citra ketimbang kerja nyata, mereka ubah sistem.
Nggak peduli anak siapa, sekolah di mana. Yang penting siapa yang bisa kerja dan bawa hasil buat rakyatnya. Prinsip meritokrasi ditegakkan, zero tolerance buat korupsi diterapkan. Akibatnya, dalam 20 tahun, China bukan cuma maju ekonominya, tapi juga lebih tertib tata kelolanya.
Sayangnya, Indonesia masih terjebak dalam budaya politik simbolik. Gelar akademik lebih dihargai ketimbang akhlak. Narasi lebih penting daripada realisasi. Dari zaman kolonial, masyarakat kita sudah diajari kalau yang penting itu titel, gelar, dan jabatan. Tradisi ini diteruskan hingga sekarang. Akibatnya, di pentas politik, pura-pura peduli lebih laku ketimbang benar-benar peduli.
Dalam perspektif hukum, ini yang disebut Philip Selznick sebagai responsive law. Hukum seharusnya tak hanya mengurusi prosedur dan pelanggaran formal, tapi harus responsif terhadap problem sosial. Kalau hukum kita cuma sibuk kejar soal ijazah, tapi janji politik palsu dibiarkan, maka negara ini kehilangan orientasi moral.
Akar masalahnya jelas warisan legal-formalisme kolonial yang masih bercokol, dan budaya politik patronase. Politik transaksional berbasis uang dan simbol menjadikan janji politik komoditas jual-beli, bukan kontrak moral.
Itu sebabnya, meskipun UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) bilang semua warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum, kenyataannya yang miskin bisa masuk penjara karena maling sandal, sementara koruptor bansos bisa bebas keluar masuk.
Kalau mau jujur, dampak janji politik palsu jauh lebih mengerikan. Bukan cuma soal moral, tapi soal masa depan satu generasi. Karena janji palsu bisa mematikan harapan, memperpanjang kemiskinan, dan melanggengkan ketimpangan.
Dalam jangka panjang, ini lebih membahayakan ketimbang sekadar ijazah palsu. Karena ijazah palsu mungkin hanya menipu soal kompetensi personal, tapi janji politik palsu bisa menghancurkan nasib satu bangsa.
Jadi, kalau kita masih mau sibuk ribut soal ijazah, silakan saja. Tapi jangan lupakan bahwa lebih banyak anak miskin hari ini putus sekolah. Lebih banyak petani kehilangan sawahnya. Lebih banyak rakyat dihianati oleh janji-janji palsu. (*)
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |