https://malang.times.co.id/
Opini

Ramadan: Jalan Pulang di Tengah Gaduhnya Dunia

Minggu, 02 Maret 2025 - 19:31
Ramadan: Jalan Pulang di Tengah Gaduhnya Dunia Muhammad Sahlan, S.Sos, M.A., Staff Pengajar Universitas Islam Ibrahimi Banyuwangi dan Presidium Majelis Daerah KAHMI Banyuwangi.

TIMES MALANG, BANYUWANGI – Manusia zaman ini sering terjebak dalam labirin globalisasi. Teknologi memudahkan banyak hal, tetapi juga sering melahirkan kehampaan.

Kita hidup ditengah era yang menuntut efisiensi, serba cepat, serba sibuk, tetapi pada saat yang sama, kita kehilangan rasa, makna dan kedalaman.

Ramadan, di tengah hiruk-pikuk ini, adalah oase yang membawa manusia kembali kepada hakikatnya: menemukan jalan pulang kepada Allah dan merajut kembali kehangatan antar sesama.

Puasa Adalah Menyentuh Hakikat Jiwa

Dalam karya klasiknya, Ibn Arabi, dalam Syajaratul Kawan, (2023) menyampaikan bahwa ibadah bukanlah rutinitas mekanis (lahiriyah). Ia adalah perjalanan batin yang mengantar manusia mendekat kepada “haqiqah,” kebenaran sejati yang bersumber dari Allah.

Puasa bukan sekadar berhenti makan atau minum. Kata Ibn Arabi, puasa itu adalah "memutus tali-tali duniawi, agar jiwa terbang lepas menuju cahaya Allah”.

Ketika seseorang berpuasa, ia sedang melakukan transformasi batin. Nafsu yang biasanya mengendalikan pikiran dan tindakan, kini diberi kendali yang lebih tinggi: kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang bergantung sepenuhnya pada Allah yakni kebenaran ialhiah yang mmendasari sesuatu.

Puasa, dalam pandangan ibn Arabi, bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, melainkan proses spiritual untuk mengendalikan nafsu yang sering menguasai diri manusia.

Ibn Arabi menyebut puasa membawa -proses- manusia ke dalam tiga tahapan batiniah ini sebagai proses takhalli mengosongkan hati dari segala hal yang mengganggu hubungan dengan Allah.

Tajalli  menyaksikan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan. Tahalli menghiasi jiwa dengan sifat-sifat mulia seperti sabar, syukur, dan Ikhlas.

Dalam kehidupan modern yang penuh dengan distraksi, seperti media sosial dan budaya konsumtif, ajaran Ibn Arabi tentang puasa ini menjadi sangat relevan. Ia mengingatkan kita untuk tidak hanya mengosongkan perut, tetapi juga mengosongkan hati dari keserakahan, keangkuhan, dan egoisme.

Dengan demikian, Ramadan menjadi bulan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian jiwa dan pengendalian nafsu. Ramadan adalah ruang sunyi di mana manusia bisa mendengar kembali suara nurani, menemukan kembali kedamaian dalam penghambaan.

Ibn Arabi menegaskan bahwa puasa adalah salah satu cara Allah mengajarkan manusia untuk merasakan ketergantungan penuh kepada-Nya. Ketika kita menahan diri dari makanan dan minuman, kita menyadari bahwa segala sesuatu dalam hidup ini adalah karunia Allah. “Dengan menahan diri, manusia mengingat bahwa ia adalah makhluk yang hidup semata karena rahmat Allah”.

Lebih jauh lagi, Ibn Arabi menjelaskan bahwa puasa adalah proses penyadaran yang membawa manusia dari kegelapan nafsu menuju cahaya spiritualitas. Krisis spiritual yang sering kali muncul karena keterputusan manusia dari Sang Pencipta dapat teratasi melalui puasa yang dilakukan dengan penuh kesadaran.

Dengan kata lain, puasa bukan sekadar ritual fisik, tetapi juga terapi spiritual untuk membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah (Ibn Arabi, Syajaratul Kawan, h. 132).

Ramadan untuk Membangun Kesadaran Sosial

Dalam beberapa ceramah Gus Bahaudin Salim atau yang akrab dengan Gus Baha dengan ceramah khas dan sederhana tapi kena di hati. Beliau mengatakan bahwa puasa bukan hanya soal hubungan dengan Allah, tapi juga hubungan dengan sesama manusia. “Puasa itu, Allah sengaja bikin kita lapar, supaya kita tahu rasanya jadi orang miskin".

Dengan lapar itu, kita jadi lebih peduli. Kita jadi tahu bahwa di luar sana ada orang-orang yang setiap hari hidup dalam kelaparan, tanpa tahu kapan mereka bisa makan lagi.

Tapi peduli saja tidak cukup. Gus Baha menekankan pentingnya berbagi. Kalau kita punya makanan enak untuk berbuka, coba pikirkan tetangga kita yang mungkin tidak punya apa-apa. Kalau kita punya uang lebih, alangkah baiknya kalau kita gunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan.

Dan, tentu saja, Ramadan bukan soal pamer. Beliau sering mengkritik budaya konsumtif dan riya digital selama bulan puasa. “Puasa itu sederhana. Jangan sampai justru jadi ajang pamer. Pamer menu berbuka, pamer pakaian baru, pamer apa saja,” ujar Gus Baha.

Beliau mengingatkan, inti dari Ramadhan adalah kesederhanaan. Ketika kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal duniawi, kita kehilangan kesempatan untuk benar-benar merasakan kedamaian yang ditawarkan Ramadhan.

Dalam beberapa ceramah Gus baha di sosial media dan yutube, Gus Baha, dengan tutur yang sederhana tapi penuh hikmah, selalu mengingatkan bahwa Islam itu adalah agama keseimbangan. Puasa, kata beliau, bukan hanya untuk menguatkan hubungan dengan Allah, tapi juga dengan manusia lain.

Gus Baha sering menyindir secara halus bahwa ada orang yang rajin ibadah, tetapi lupa bahwa Islam itu juga mengajarkan peduli kepada tetangga, fakir miskin, dan orang yang membutuhkan.

Tantangan dan Tren Masyarakat Digital Selama Ramadan

Di era digital, Ramadhan juga menemukan bentuk tantangannya sendiri. Media sosial yang seharusnya jadi alat dakwah dan inspirasi, sering malah jadi panggung untuk riya digital.

Orang berlomba-lomba menunjukkan seolah-olah ibadah mereka yang paling sempurna: foto saat tarawih, video saat sedekah, atau unggahan mewahnya acara berbuka di restoran mahal.

Namun, tak semua tren digital itu negatif. Banyak pula kreator konten yang memanfaatkan platform seperti TikTok dan YouTube untuk menyebarkan inspirasi Ramadan. Mereka berbagi tentang keutamaan puasa, cara membaca Al-Quran, hingga cerita perjuangan hidup yang menguatkan iman.

Ada juga aplikasi pendukung ibadah seperti pengingat shalat atau tafsir digital yang memudahkan umat Islam untuk mendalami agama. (Google Trends, 2023).

Tetapi di sisi lain, budaya konsumtif juga semakin menjadi-jadi. Diskon besar-besaran menjelang Idul Fitri sering kali melalaikan esensi Ramadan.

Orang lebih sibuk mengejar promo belanja daring daripada mendekatkan diri pada Allah. Di sini, kita perlu mengingat kembali pesan Ibn Arabi: “Puasa adalah tentang membebaskan diri, bukan menambah beban”.

Ramadan Sebagai Refleksi Diri

Ramadan itu seperti cermin besar diri kita yang disodorkan Allah kepada kita. Ia memaksa kita untuk melihat diri sendiri dengan lebih jelas, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Ia mengingatkan kita bahwa hidup ini bukan hanya tentang mengejar dunia, tapi juga tentang menemukan makna hidup. Dan pada diri sendiri: ke mana langkah kita selama ini? Dan “Apakah aku sudah menjadi manusia yang baik?”.

Refleksi diri ini tidak hanya untuk memperbaiki hubungan dengan Allah, tetapi juga dengan sesama manusia. Ramadan adalah waktu untuk memaafkan, memperbaiki hubungan yang retak, dan memperkuat tali silaturahmi.

Ramadan mengajarkan kita untuk mengendalikan diri, untuk bertahan dalam kesulitan tanpa kehilangan kedamaian batin.

Dalam konteks sosial, Ramadan mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati terletak pada berbagi dan peduli. Ramadan adalah waktu untuk berhenti sejenak dan Di tengah kebisingan dunia digital, di mana semua orang ingin berbicara dan didengar, Ramadan mengajarkan diam dan mendengarkan.

Dengarkan suara hati, dengarkan ayat-ayat Allah yang terlantun dalam Al-Qur'an, dengarkan tangis orang-orang kecil yang selama ini kita abaikan.

Gus Baha pernah berkata, “Kalau puasa hanya soal menahan lapar, tapi tidak membuat kita lebih sabar, lebih peduli, dan lebih dekat kepada Allah, maka Ramadhan kita hanya menjadi ritual kosong”.

Pesan ini sederhana, tapi mendalam. Ia mengingatkan kita bahwa ibadah bukan soal jumlah, tapi soal dampaknya pada hati dan tindakan kita.

Sebagaimana pesan Gus Baha “Kalau puasa hanya tentang menahan lapar, tetapi tidak mengubah cara berpikir dan bertindak, maka Ramadan hanya menjadi ritual tanpa makna.”

Pesan ini mengingatkan kita bahwa ibadah puasa seharusnya membawa perubahan nyata dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam cara kita melihat dunia maupun cara kita memperlakukan orang lain.

Menemukan Jalan Pulang

Ramadan adalah waktu untuk menemukan jalan pulang, baik kepada Allah maupun kepada, pulang kepada diri sendiri, dan pulang kepada sesama manusia. Ramadan menawarkan solusi yang sederhana tapi mendalam: pengendalian diri, kesederhanaan, dan kepedulian.

Dan di tengah kegaduhan dunia modern, Ramadan mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, mendengarkan nurani, dan kembali kepada fitrah.

Ibn Arabi menawarkan perspektif spiritual tentang bagaimana puasa dapat membawa kita lebih dekat kepada Allah melalui proses penyucian jiwa. Gus Baha mengingatkan bahwa puasa juga memiliki dimensi sosial yang mendalam, yakni membangun solidaritas dan empati.

Di era digital, tantangan dan peluang baru muncul, tetapi esensi Ramadan tetap sama: pengendalian diri, refleksi, dan perbaikan diri.

Maka, mari kita jadikan Ramadan ini sebagai bulan yang penuh makna. Bukan sekadar rutinitas tahunan, tetapi sebagai waktu untuk benar-benar merenung, memperbaiki diri, dan memperkuat hubungan dengan Allah serta sesama.

Sebab di tengah krisis spiritual dan sosial yang melanda dunia modern, Ramadan adalah jawaban untuk menemukan kembali siapa diri kita dan ke mana tujuan hidup kita.

Jadi, mari kita jalani Ramadan ini dengan hati yang terbuka. Jangan biarkan kebisingan dunia mengalihkan kita dari makna sebenarnya. Sebab, di dalam kesederhanaan Ramadan, kita menemukan apa yang selama ini kita cari: “jalan pulang”.

***

*) Oleh : Muhammad Sahlan, S.Sos, M.A., Staff Pengajar Universitas Islam Ibrahimi Banyuwangi dan Presidium Majelis Daerah KAHMI Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.