https://malang.times.co.id/
Opini

Agama dan Integritas

Rabu, 05 Februari 2025 - 17:34
Agama dan Integritas Nur Zaini, Guru PAI MAN 2 Kota Malang dan Dosen AIK Universitas Muhammadiyah Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Akhir akhir ini kita disuguhi beberapa berita pemerasan oleh aparat. Kasus pemerasan oleh oknum polisi mencerminkan krisis moral dalam institusi penegak hukum. Contohnya, pada akhir Januari 2025, mantan Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, AKBP Bintoro, diduga terlibat dalam pemerasan sebesar Rp5 miliar. Polda Metro Jaya mengungkap bahwa lima anggota polisi terlibat dalam kasus ini.

Selain itu, pada Desember 2024, 18 oknum polisi diduga melakukan pemerasan terhadap warga negara Malaysia saat acara Djakarta Warehouse Project (DWP). Mabes Polri menindak tegas dengan memecat dua anggota yang terbukti terlibat. Dan berita terbaru, di kota Semarang dua orang oknum polisi memeras sepasang kekasih didalam mobil mereka.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa meskipun polisi memiliki tugas mulia sebagai penegak hukum, masih ada individu yang menyalahgunakan wewenang mereka untuk keuntungan pribadi, menandakan adanya masalah integritas dan moralitas dalam institusi tersebut.

Pertanyaan reflektif: Mengapa seseorang yang seharusnya menjaga hukum justru melanggar etika?

Pertanyaan reflektif ini menggali kontradiksi mendasar antara peran dan tindakan. Seseorang yang bertugas menjaga hukum, seperti polisi, memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk melindungi masyarakat, menegakkan keadilan, dan menjaga ketertiban. 

Namun, ketika individu dalam posisi ini justru melanggar etika-misalnya, dengan melakukan pemerasan-itu menunjukkan adanya celah dalam integritas pribadi atau kelemahan dalam sistem institusi. Ada beberapa alasan yang mungkin menjelaskan fenomena ini:

Pertama, Godaan Kekuasaan dan Uang. Jabatan memberikan akses ke kekuasaan dan kesempatan untuk mengeksploitasi situasi demi keuntungan pribadi. Tanpa pengawasan yang ketat, godaan ini bisa sulit ditolak.

Kedua, Tekanan Sosial dan Lingkungan Kerja. Budaya institusi yang permisif terhadap pelanggaran atau adanya ‘pembenaran bersama’ bisa mendorong individu untuk mengikuti arus demi menjaga status atau hubungan profesional.

Ketiga, Kurangnya Pendidikan Etika. Meskipun memiliki pelatihan profesional, pendidikan etika yang tidak memadai dapat membuat individu kesulitan membedakan mana yang benar dan salah dalam situasi kompleks.

Pentingnya Agama dalam Pembentukan Karakter dan Moralitas Individu 

Agama memainkan peran penting dalam pembentukan karakter dan moralitas individu karena memberikan pedoman hidup yang jelas tentang nilai-nilai kebaikan, kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan. Berikut beberapa alasan mengapa agama berpengaruh dalam membentuk moralitas seseorang:

Pertama, Sumber Nilai dan Prinsip Moral. Setiap agama mengajarkan prinsip-prinsip dasar moralitas, seperti kejujuran, kasih sayang, keadilan, dan integritas. Ajaran ini menjadi landasan bagi individu dalam mengambil keputusan dan berperilaku di masyarakat.

Kedua, Menanamkan Kesadaran tentang Konsekuensi Moral. Agama mengajarkan bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi, baik di dunia maupun di akhirat. Keyakinan akan pertanggungjawaban di hadapan Tuhan dapat menjadi pengingat agar seseorang tetap berada di jalan yang benar.

Ketiga, Menjaga Ketahanan Diri di Tengah Godaan. Dalam kehidupan sehari-hari, individu sering dihadapkan pada godaan untuk bertindak tidak etis, seperti korupsi, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan. 

Agama memberikan pegangan moral yang kuat agar seseorang tidak mudah tergoda melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan.

Mengapa Moralitas Tidak Selalu Sejalan dengan Seragam?

Seragam, terutama dalam profesi seperti kepolisian, militer, atau lembaga penegak hukum lainnya, melambangkan tanggung jawab, disiplin, dan integritas. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua individu yang mengenakan seragam memiliki moralitas yang sejalan dengan tugas dan nilai yang diemban. Berikut beberapa alasan mengapa hal ini terjadi:

Pertama, Budaya Institusi yang Tidak Selalu Mencerminkan Moralitas Tinggi. Institusi penegak hukum idealnya berlandaskan pada keadilan dan etika, tetapi dalam praktiknya, budaya kerja yang permisif terhadap penyimpangan dapat melemahkan moral individu. 

Jika korupsi atau penyalahgunaan wewenang dianggap sebagai "tradisi" dalam suatu lembaga, maka individu yang awalnya bermoral baik pun bisa tergoda atau dipaksa menyesuaikan diri.

Kedua, Godaan Kekuasaan dan Keuntungan Pribadi. Seragam memberikan otoritas, dan dengan otoritas itu muncul berbagai kesempatan untuk menyalahgunakannya. Tanpa pengawasan yang ketat dan kontrol diri yang kuat, individu dapat tergoda untuk memanfaatkan jabatan mereka demi kepentingan pribadi, seperti menerima suap, melakukan pemerasan, atau menyelewengkan kewenangan.

Ketiga, Kurangnya Akuntabilitas dan Pengawasan. Ketika sistem pengawasan dalam institusi lemah, pelanggaran moral dan etika bisa terjadi tanpa konsekuensi yang berarti. Jika pelaku pelanggaran jarang dihukum atau bahkan dilindungi oleh rekan-rekannya, maka moralitas individu tidak lagi menjadi faktor utama dalam bertindak, karena mereka merasa aman dari hukuman.

Solusi: Menyatukan Agama dan Integritas dalam Profesi

Agar agama dan integritas dapat berjalan seiring dalam dunia profesional, diperlukan pendekatan yang tidak hanya menanamkan nilai-nilai moral tetapi juga menciptakan sistem yang mendorong individu untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut beberapa solusi yang dapat diterapkan:

Pertama, Pendidikan Etika Berbasis Agama dalam Pelatihan Profesi. Institusi seperti kepolisian, militer, dan lembaga penegak hukum harus memasukkan pendidikan moral dan etika berbasis agama ke dalam kurikulum pelatihan mereka.

Pendidikan ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga harus dihubungkan dengan tantangan nyata di lapangan, sehingga individu memahami bagaimana menerapkan nilai-nilai agama dalam situasi profesional.

Kedua, Reformasi Institusi untuk Menciptakan Budaya Kerja yang Berintegritas. Penting untuk membangun sistem yang menegakkan transparansi dan akuntabilitas, sehingga individu tidak mudah tergoda menyalahgunakan wewenang.

Ketiga, Menegakkan aturan yang jelas dengan sanksi tegas bagi pelanggar agar individu merasa bertanggung jawab terhadap tindakan mereka.

Menciptakan budaya kerja yang mendorong perilaku etis, seperti penghargaan bagi pegawai yang menunjukkan integritas tinggi.

Ketiga, Pengawasan Ketat dan Penerapan Sanksi bagi Pelanggaran Moral. Institusi harus memiliki mekanisme pengawasan independen untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Pelaporan pelanggaran harus dilakukan secara transparan dan tanpa rasa takut terhadap ancaman dari pihak internal.
Hukuman yang tegas harus diterapkan untuk memberikan efek jera bagi pelanggar dan menegaskan bahwa nilai moral tidak bisa dikompromikan.

Agama memiliki potensi besar dalam membentuk moralitas, tetapi praktik di lapangan sering kali berbeda.
Integritas bukan hanya soal keyakinan pribadi, tetapi juga sistem yang mendukungnya.

Diperlukan sinergi antara ajaran agama, sistem pengawasan yang ketat, dan kesadaran individu agar seragam dan moralitas bisa berjalan seiring.

***

*) Oleh : Nur Zaini, Guru PAI MAN 2 Kota Malang dan Dosen AIK Universitas Muhammadiyah Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.